Kusumaningwigati 11

by membualsampailemas


Aku berjalan dengan tergesa menuju Balingawan, cuaca masih panas ketika itu, ketika burung alap-alap terbang tanpa mengepakkan sayap mencari mangsa di siang hari. Angin seperti tiada berhembus, sungguh suasana yang lembap namun panas. Sungai tempat pertama kalinya aku bertemu Harini telah kulewati, masih teringat bayangan Harini yang mencuci kain batik di sungai yang kini agak asat karena mulai memasuki musim kemarau, airnya setinggi mata kaki. Kala itu aku selalu memperhatikannya sembunyi-sembunyi.

Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak yang biasa kulalui untuk mencari kayu bakar, menghalau semak-semak di depanku. Cicitan burung di siang hari membuat tempat ini menjadi tidak sepi, reng-rengan suara gareng membuat telinga terisi penuh rasanya.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan segerombolan orang yang membawa tombak dengan lengan berkelet logam. Mereka tiada berbaju atasan, melainkan hanya berkain hingga lutut yang warnanya kecoklatan, prajurit istana! Ada apa mereka di sini? Tanpa pikir panjang aku bersembunyi langsung ke balik semak-semak yang bisa kupakai untuk bersembunyi. Sebisanya aku mengatur napasku agar tak terlalu kedengaran oleh mereka. Bagaimanapun prajurit istana bukanlah sembarang prajurit, mereka pastilah memiliki ilmu beladiri yang lebih tinggi dari orang-orang awam, apalagi aku.

“Akankah kita ke Balingawan?”

“Tidak, kita tidak ada urusan ke sana. Lagipula jumlah kita sedikit.” kata orang yang memiliki kelet paling tebal diantaranya.

“Masih lima hari perjalanan jika kita ingin kembali ke Mantyasih”

Aku berusaha mendengarkan percakapan mereka dengan tenang, setenang yang kubisa. Semut-semut sudah mulai merambat ke kaki ku, aku sedikit tidak tahan. Tapi jika aku bergerak, bisa-bisa aku dikira babi hutan dan di bunuh mereka.

Tak perlu menunggu terlalu lama agar mereka pergi menjauh tanpa menyadari keberadaanku. Setelah kurasakan mereka cukup jauh, aku segera keluar dari semak-semak dan mengibaskan kainku untuk merontokkan para semut, lalu aku kembali berjalan menuju Balingawan. Tak perlu kupikir sejauh mana mereka akan berbuat, tak ada urusan dengan mereka.

Jika dari sungai, sekitar sepenanak nasi lamanya, aku telah dapat melihat desaku dari kejauhan, segera kupercepat langkahku. Desaku cukup tinggi, dari pinggirnya dapat terlihat pemandangan hamparan hutan. Untuk menaiki tebing Balingawan haruslah cukup lihai memilih batu pijakan. Sebenarnya bukan jalan ini saja yang dapat menjadi perantara Balingawan dengan dunia luar, masih ada jalan setapak di sebaliknya. Desaku berupa bukit yang sisinya agak terjal. Sungguh indah ketika di atasnya. Hanya terdapat 30 rumah kayu termasuk rumahku yang telah kutinggalkan. Anak-anak sering bermain-main ke bawah namun belum satu pun dari mereka yang kulihat. Anak-anak ingusan yang dulu aku sering bermain dengan mereka.

Balingawan adalah tempatku bernaung dan berlindung selama ini. Meski tanpa orang tua sekarang, aku masih dapat hidup dan tetanggaku mereka semua baik padaku. Aku harap Harini ada di sini.

Beberapa anak-anak kecil ingusan yang telanjang bermain-main dengan tanah, entah apa yang mereka buat dengan khayalan mereka. Pemandangan itu menyambutku begitu memasuki Balingawan. Semua orang di desaku tentu saling mengenal satu sama lain, maka dari itu beberapa orang langsung menyapaku.

“Nawa..!” kata seseorang, dia Arja, pria paruh baya yang bekerja sebagai pandai besi. “Kemana saja?! Kukira kau hilang sejak mencari kayu bakar, sudah seminggu lebih!”

Seminggu? Aku merasa baru 4 sampai 5 hari pergi.

“Ah, tidak apa, aku hanya sedikit tersesat dan mampir ke desa sebelah. Namun kulihat tak ada penduduknya satu pun di sana”, sahutku.

“Kau belum tahu? Mereka semua mengungsi. Setelah Sima Yadnya, kabarnya wilayahnya akan dibangun percandian juga.”

“Apa? Lalu mengungsi kemana?!”

Lelaki itu menggelengkan kepala. Tenang.

“Ada seseorang mencarimu, seorang perempuan.”

“Ah?”

“Dia dua hari yang lalu mencarimu, dia di sini sekarang.”

Lama kami berbicara dan aku berusaha mencari tahu kemana saja orang desa itu pergi. Ternyata beberapa prajurit istana itu bertugas memastikan perginya orang-orang dari desa.

Ketika pembangunan Kamulan Bhumisambara dulu pastilah ada desa yang benasib sama, tersingkir karena hendak dibangun candi di wilayahnya. Bukan perkara mudah untuk mempertahankan tanah mereka dari kemauan penguasa untuk membangun tempat candi. Candi tak hanya digunakan sebagai tempat peribadatan, namun juga untuk menunjukkan kekuasaan raja-raja. Juga tabu untuk menolak keinginan sang raja untuk membangun tempat suci.

***

Hari menjelang sore ketika aku telah di Balingawan, langit mulai memerah dan burung-burung terlihat beterbangan hendak kembali ke sarangnya. Belum betul-betul sore di sini. Dari Balingawan dapat terlihat bagaimana matahari naik dan bagaimana matahari tenggelam. Pemandangan yang biasa bagi warga di sini, namun akan menjadi luar biasa ketika ada wanita yang kudamba dan kupuja.

Aku melangkahkan kakiku ke tempat tetua desa, meniliki apakah Harini memang ada di sana. Ternyata benar, dia berada di sana sudah 2 hari lamanya.

Singkat cerita, kujemput Harini dan kubawa dia ketepi desa sebelah barat untuk menikmati suasana. Lama kami berpandangan berdua, tiada kata yang terucap melainkan pandangan mata sahaja. Harini yang sayu, harini yang sendu, langit di timur perlahan membiru dan kita telah bertemu dalam rindu. Aku mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada desanya.

“Harini, apa yang terjadi?” kataku.

“Kanda kemana pergi? Harini telah lama menanti.” Harini berucap manja sambil memegang tanganku erat.

Pertemuan itu mengingatkanku untuk tidak akan pernah meninggalkan Harini lagi, kini ingin aku untuk membawa Hairni kemanapun aku pergi. Sebuah keadaan yang tak terduga ketika aku mendengar Harini mau menceritakan segalanya selama aku pergi meninggalkan desa. Setelah kurangkai, kurang lebih ceritanya begini:

*

Kanda, kau tidak tahu betapa Harini merindukanmu setiap waktu. Beberapa hari setalah Sima Yadnya, keadaan desaku aman, namun semua berubah ketika seseorang datang dari Mantyasih dan memberi kabar bahwa Rakai Pikatan mengirimkan prajurit untuk mengusir penduduk dari tanah sima (tanah terbebas upeti) karena hendak mendirikan candi baru. Sungguh aku tidak mengerti bagaimana bisa kami terusir dari tanah kami sendiri, padahal penduduk desa kami sudah mengabdi dengan menyerahkan tenaga dan waktu untuk ikut membangun Kamulan Bhumisambara di sana. Pun baru beberapa bulan dilaksanakan Sima Yadnya. Kami yang cuma penduduk biasa tak tahu harus bagaimana. Mulanya tiada yang percaya pada seorang itu yang memberi kabar dari Mantyasih, tapi datang lagi beberapa utusan yang langsung bicara pada tetua desaku itu, Kanda.

Sungguh jika kau di sana, aku ingin segera menangis di pundakmu untuk meredakan rasa di dadaku. Berhari-hari aku menantikan kedatanganmu, Kanda, namun kau tak kunjung juga datang. Aku pun merasa takut kau meninggalkan Harini seorang. Ingin aku segera ke Balingawan mencarimu, namun ayah dan ibu tak menghendaki itu. Mereka mengajakku mengungsi ke Kledung bersama penduduk desa lain. Aku tetap menolak untuk pergi ke sana, aku memilih pergi ke Balingawan yang lebih dekat, dan tentunya dengan harapan bertemu denganmu. Sudah lama, terasa sangat lama, Kanda, waktu seminggu lebih itu, sebenarnya kemanakah kau?

Aku pergi ke Balingawan diantar oleh orang tuaku, namun ketika tiba di sini aku mendapatimu tiada terlihat barang hidung pun. Maka aku merasa sungguh sangat pilu, Kanda, takut terjadi apa-apa denganmu. Kau diceritakan telah menghilang dan tidak kembali setelah mencari kayu bakar. Tapi secercah harapan masih ada di dadaku, aku memutuskan untuk tetap bertahan di Balingawan beberapa lama untuk menunggumu seorang. Ayahku sempat agak memaksaku untuk mengikutinya hingga ke Kledung, numun aku terus menolak, maka ibuku dengan penuh kasih sayangnya mengijinkan aku untuk tinggal beberapa lama di Balingawan, menunggumu. Ayah dan ibu akhirnya pergi berdua tanpaku ke Kledung.

*

Senja Sore

Senja lagi-lagi muncul dengan pesonanya yang anggun nan cantik. Kami berdua duduk di rerumputan memandangi sisi barat bumi, angin seppoi menerpa wajah kamu dengan lembutnya, rambut Harini terurai tertiup angin itu, lembut. Dia menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku masih penasaran dengan apa yang aku alami, Bapak Tua, Wiraksini, Kapalika, Kadatuan pariraksa (Prajurit istana), Desa Harini, dan sebagainya yang terjadi selama aku pergi. Namun semua itu sirna ketika bidadariku memandang wajahku dengan sayu, dia tersenyum bahagia, sungguh bahagia, pun aku.

“Kanda, aku ingin pergi ke Kamulan Bhumisambara” celetuk harini di pundakku. Aku tersenyum.

“Aku akan mengantarmu, kapanpun kau mau, aku siap menemanimu ke sana. Kan aku sudah janji padamu, aku akan membawamu melihat Kamulan Bhumisambara.”

“Sebenarnya apa yang terjadi selama seminggu lebih ini, Kanda. Dimana kau sebenarnya pergi?”

“Sang Waktu mempermainkanku, aku pun tak tahu pasti” ucapku seenaknya.

Lalu aku bercerita, cerita yang panjang sekali pada Harini, termasuk Wiraksini pun ku ceritakan yang hanya membuat dia sedikit tersungut-sungut dan memanyunkan bibir. Aku mencubitnya pelan ketika itu, dia hanya tertawa geli. Kami mengakhiri senja ini dengan indah, dan beberapa hari lagi perjalanku dengan Harini akan dimulai menuju Kamulan Bhumisambara.