The Subejo

Mlaku Bareng-bareng

Tag: Cita-cita

Apa itu Cita-Cita??

‘Cita-cita’, yang dulu sering dinyanyikan Joshua, masih ingat banget lagu itu, walaupun lagu anak-anak, tapi waktu itu memang inspiring banget buatku. Mungkin kalian yang baca tulisan ini pernah mengalami hal yang sama. “Sebenarnya, apa sih cita-cita saya sejak kecil?” jawab: buanyak, dan selalu berubah-ubah. Kalian mungkin juga. Terlahir di keluarga sederhana, yang dulu pernah tinggal di Semanding, Gombong, terus pindah ke Tunjungseto, Sempor, alias lingkungan yang lebih ndeso, saya tumbuh jadi pribadi yang punya banyak imajinasi. Waktu kecil dulu, cita-cita pertama saya yaitu seperti anak-anak lain, kalau ditanya ‘mau jadi apa anak-anak?’, jawab: jadi dokter bu! :D dasar anak kecil, sedari dulu terdoktrin secara tak langsung buat jadi dokter, walau ìtu adalah ikut-ikutan. Jujur, waktu kecil, saya tak pernah kepikiran kalau mau jadi apa, sampai SD kelas 6 pun, belum. Ya itu, cuma ikut-ikutan, “jadi dokter bu”. Saya rasa hampir setiap anak seperti itu.

Tapi, semenjak akhir kelas 6, yang karena ada sesuatu kejadian yang mengguncang secara batin dan jiwa, saya mulai bingung dengan masa depan. Saya mulai berpikir tentang orientasiku ke depan untuk menanting adik-adik ku yang masih kecil waktu itu, ya, pastilah sebagai anak pertama tanggungan moral mulai timbul di kelas 6 dan kebetulan sesuatu yang tak terduga terjadi juga. Setelah masuk di SMPN 2 Gombong, waktu itu adalah SMP favorit, tak tau deh sekarang, saya juga mengalami berbagai guncangan batin yang membuat tak berpikiran untuk minta ini itu sama ibu, sampai seragam sekolah, memang 3 tahun tak ganti yang baru. Di SMP, cita-cita selalu berubah dari waktu ke waktu. Ingat dulu waktu kelas 7, saya pengen jadi aktor film, aneh-aneh aja lah pokoknya, tapi setelah berpikir, dengan muka pas-pasan gini, pasti cuma dapet peran figuran geje, wah, ganti lagi. Cita-citaku selanjutnya adalah jadi seorang broadcaster, orang yang berperan dibalik layar produksi berita. Waktu itu, teman-temanku pada gak tau kerjaan itu. Aku pengen jadi orang pertelevisian, maka dari itu, aku senang banget sama IT. Design Graphic khususnya, kayaknya kok asik. Terus jadi wartawan, asik banget bisa kemana-mana. Jadi kameramen, walau gak terekam kamera, tapi dia orang paling berjasa. Setelah mau jadi kameramen, pengen jadi pembawa berita di TV (anchor berita), wah, ini pasti jadi orang terkenal, sampai akhir SMP, cita-cita ku masih seputar dunia broadcasting.

Suatu hari di kelas 9, ada seorang guru matik yang secara gak langsung promo tentang SMAN 1 Purworejo, karena dia adalah alumninya. Dengar itu, aku jadi pengen ke luar kota (nyleneh dari teman-temanku yang waktu itu kalau tak pengin ke smansa gombong, ya ke smansa kebumen), tapi aku pengen di luar kota, cari jaringan baru biar banyak koneksi. Ini inspirasi dari bapak dulu, yang banyak kenal orang sana-sini, aku juga pengen. Tapi, dengar-dengar juga gosip yang beredar waktu itu, kalau daftar ke kabupaten lain, nilai nem nya bakal dikurangi 2. Wah, aku jadi agak minder, karena cuma modal 28.87 (waktu itu UN masih 3 mata pelajaran). Tapi aku ngecek ke Purworejo dulu sendiri waktu itu, kaya orang ilang. Oia, waktu itu aku dah berani naik motor Gombong-Purworejo sendiri, gak takut dihadang polisi pula, slonong-boy lah pokoknya. Ternyata setelah dicek, gak dikurangi kok nem nya. Alhamdulillah. Dengan segala izin Tuhan, masuklah di SMANSA PURWOREJO yang asing banget buat saya. no friend at all, yang kelihatan beda adalah bahasanya, karena dari Kebumen, aku biasa jawa sama teman atau b.indo kalo di lingkungan kota. tapi ini kok ini jawa semua? Aneh. Untung dengan berbekali lidah Purworejo (bapak), logat saya bisa diubah sedemikian rupa sampai gak ada yang sangka kalau dari Kebumen, e e tapi, begitu ada yang tau, langsung diejek ngapak-ngapak. Wah, di SMA ini cita-cita masih konstan, sampai suatu waktu aku pengen banget jadi insinyur, yang bisa bangun kota kaya Ir.Cokorda dari Bali. Beliau inspiring banget, Putra Indonesia yang fenomenal, membuat jalan layang dengan teori archimedes yang belum satu pun arsitek dunia kaya dia. Kalau di kekas XI, kebetulan jadi pemred Majalah Sekolah, Gamma, pengen jadi jurnalis. Jurnalis yang kaya di metroTV.

Tapi suatu hari di kelas XI, aku tertegun ketika sedang merenung tentang tujuan hidup, aku mulai sadar kalau bekerja itu bukan sekedar cari materi, bukan sekedar kerja asal dapat hasil, rasanya benar-benar gak puas. Aku vakum dari cita-cita beberapa saat. Sampai di ingatkan oleh om ku tentang tujuan hidup dan bekerja besok, adalah buat ibadah. Aku berpikir keras dan terus mikir, ibadah? Sampai suatu waktu aku keranjingan Nimbuzz (aplikasi chatting mobile), aku suka chatting, di sana aku ketemu orang-orang dunia maya yang beda-beda. Sampai aku menemukan sebuah chatroom bernama dokter_muslim. Aku iseng masuk, dan mulai dari itu cita-cita ku terbentuk secara lebih matang, walau cuma sekedar dari sebuah chatting dengan anak-anak medis yang gak tau itu benar apa gak, tapi alhamdulillah hampir semua orang di sana jujur, jadi benar. Konyol, tapi itu memang mengembalikan semangat lama waktu kecil buat jadi dokter. Aku pun pengen jadi dokter, tapi beda dengan yang dulu, aku pengen jadi orang yang bemanfaat buat orang lain. Ini orientasiku. Sejak itu aku agaknya suka sama biologi, meski nilai-nilaiku gak terlalu bagus. Dari chatroom itu, aku belajar tentang arti sebuah kesehatan, hidup seseorang, bersyukur pada Tuhan yang mencipta tubuh ini yang begitu kompleksnya. Aku belajar itu dari orang-orang yang mengaku anak medis, dan memang insyallah benar, orang-orangnya alim, sempat diajak kopdar, tapi tak bisa karena jauh. Aku belajar terutama dari mb.Lian, mb.Reza, mb.Ute, mb.Rini, mb.Sya, mb.Dian, mb.Zahra, ms.Dyrhan, ms.Wawan, ms.Tian (cepezed), ms.Dika (neoplasma), dn lain2, buanyak. Mereka kenal secara maya, tapi dah kaya saudara (walaupun sering ejek2an). Aku tahu arti sebuah jabatan dokter dari mereka,walau mereka tak semuanya dokter, itu adalah sebuah jabatan yang berat, bukan main-main, bukan sekedar gengsi, bukan buat sekedar cari duit, ini berkaitan dengan Tuhan, karena berhadapan dengan ciptaan Tuhan yang membuat aku makin bersyukur karena aku punya Tuhan, Allah yang ciptakan tubuh begitu kompleks, begitu sistematis, dan dokter berusaha memperbaiki kelainan kesehatan pada ciptaan Tuhan ini. Aku sekarang sudah menemukan cita-cita. Dokter. Mantap. Aku memantapkan hati dan diri sejak akan semester 2 kelas XI. Terinspirasi juga oleh om dan tante ku, seorang dokter yang tak sederhana tapi sikapnya sangat sederhana dan dengan itu hasil yang memuaskan muncul perlahan. Adalah aku ingin suatu saat nanti berpraktik di lingkungan yang benar-benar butuh medis, yang bukan kota, mungkin luar jawa, atau jawa yang agak pelosok. Kedengaran konyol. Itulah cita-cita, aku sudah menemukan esensi sebuah cita-cita, aku menemukan kekuasaan Tuhan. Pemikiranku tentang cita-cita tak behenti sampai disitu, karena sejak kelas XII semester akhir, aku sadar kalau harus memberi alternatif cita-cita. Aku tak mau saklek menuju ke medis, memang cita-cita ku itu, tapi masa depan siapa yang tau? Tuhan bisa berkehendak lain. Aku memilih jurnalis sebagai alternate ku, maka dari itu,aku juga suka nyimak berita, politik, hukum, keamanan khususnya. Dan yang aku tunjukkan ke khalayak adalah ini, jadi jurnalis itu pekerjaan mulia juga, dan aku ingin bermanfaat buat orang lain.

Tuhan menciptakan manusia begitu sistematisnya, seperti sebuah superkomputer, hanya kita jarang sadar kalau kita ini hebat. sering dengar bahwa orang-orang bilang cuma pakai sepersekian dari kemampuan otak, padahal hampir tiap detik otak kita bekerja milyaran perhitungan untuk mengontrol semuanya. aku tertarik dengan otak ini. Jadi seorang dokter akan berhadapan dengan ribuan superkomputer ciptaan Tuhan, ini dia, tantangan berat. Disease-disease yang umum dan tak umum dihadapi, mental harus kuat, cepat mikir dan harus tepat. siaga kapan pun. Ini aku pengen banget benar-benar bermanfaat buat orang lain yang butuh. Selain itu, dunia kesehatan di indonesia yang lumayan maju,tapi sayang banyak masyarakat menengah ke bawah masih sulit dapat pelayanan kesehatan. Maka dari itu saya pengen hidup dekat dengan mereka agar mereka tau, ‘ini lho yang namanya sehat, jangan takut ke RS’, biaya mahal? jamkesmas ada asal mau gerak buat aja’. Jadi jurnalis gak kalah hebat, pertentangan batin saat meliput berita itu sangat hebat. Kita tak tau harus membela yang mana, yang jelas 1, tugas kita menyampaikan yang benar pada khalayak. Itu intinya. terinspirasi sama Andy F Noya, Najwa Shihab, wartawan senior itu sangat kompeten dan berani. Tapi kembali lagi, Tuhan yang punya masa depan, kita menerimanya dengan ikhlas, entah akan jadi dokter atau jurnalis atau yang lain, jika memang Tuhan punya rencana besar buat kita, itu yang paling baik. Yang jelas aku sudah menemukan esensi daripada sebuah cita-cita, itulah ibadah, bukan cari harta, bukan cari populer, bukan cari mobil atau rumah, tapi ibadah. Kita kerja, khususnya yang laki-laki tujuannya ibadah, menafkahi keluarga. Tapi jujur, tidak serta merta seperti itu, saya juga berpikir cari materi, karena itu juga adalah salah satu tujuan hidup, terutama dan yang pertama adalah untuk ibu, dan adik-adik yang masih sekolah, harus bisa bantu mereka sampai mentas. Harus. kalau bisa, mereka harus lebih berhasil dariku. Itu tugas anak pertama, menanting adik-adiknya. Keluarga adalah hal terpenting setelah agama. Itu. Semua kembali pada Tuhan. Esensi sudah kudapat.

Orientasi-orientasi yang ku temukan selama perjalanan hidup ini untuk meraih cita-cita, akhirnya menuju ke sebuah sumber. Agama. Adalah sesuatu yang sakral yang harus kita hormati. Khususnya adalah Islam sebagai seorang Muslim. Akhir-akhir ini, aku termenung merenungkan esensi dari agama ini. Jawabnya muncul satu per satu. Aqidah, akhlak, ibadah, hukum, dan toleransi,. Bahwa cita-cita ku buat jadi seorang dokter dan dengan segala daya dan upaya yang hendak kuperbuat adalah sama sekali nihil, jika aku lepas dari hal ini. wah, mumet tenan, merenungkan esensi cita-cita itu ujung-ujungnya ke Tuhan, agama, dan lain-lain yang kebanyakan bersifat spiritual, bukan material. Ini tantangan baru buatku. Kuncinya satu, ikhlas dulu..

Sampai aku tiba pada titik ini, titik dimana aku yang sebelumnya tak tahu,menjadi tahu. Aku dibantu oleh Tuhan untuk mewujudkan tujuanku, meski tidak melewati cita-citaku. Ada hal yang lebih berarti daripada cita-cita itu sendiri untukku, yaitu keluarga dan pengabdian. Suatu saat jika kamu bekerja, dan ditanyai anak-anakmu, ditanyai orang lain, apakah pekerjaanmu terasa menyenangkan? Apakah terpaksa? Jawabnya adalah relatif. Kita tak bisa mengatakan kita bekerja karena terpaksa jika tujuan kita adalah mencari nafkah, tujuan kita adalah ibadah, meski tak melewati itu cita-cita. Apa artinya sebuah cita-cita yang telah kita gapai, tapi kita mengabaikan orang lain di sekitar kita?

Kuliah di STAN (?)

Beberapa waktu lalu, Indonesia dikejutkan dengan penemuan sejumlah kasus penyelewengan pajak di DJP, nama Gayus Tambunan pun jadi terkenal.
Lalu tak ayal, nama STAN pun ikut dikait-kaitkan. Seolah orang awam menghakimi bahwa lulusan STAN itu identik dengan sosok Gayus itu. Tak heran, jika banyak sekolah-sekolah tenama di kota-kota menyarankan agar siswanya tak lagi terlalu ingin ke STAN, nanti kamu dosa, itu udah konspirasi di sana. Sebenarnya saya pribadi sakit hati dengan pernyataan teman-teman maupun orang lain yang mengkait-kaitkan si Gayus ini dengan mahasiswa STAN.

Jika di tanya “kuliah dimana?”, rasanya ragu untuk menjawab “di STAN”, takut dikira identik dengan gayus, takut diolok secara tersirat, takut dicibir, dan sebagainya.Suatu hari ada teman saya seangkatan, tapi bukan dari SMA yang sama, bertanya:

“pie kabar e?”, (gimana kabarnya?)

saya jawab “apik alhamdulillah. kw py?” (baik, alhamdulillah. Kamu gimana?)

X: “apik. weijan, anak stan ya?” (baik. wah, anak stan ya skg?)

A: “iy ki, alhamdulillah. hehe” (iya nih, alhamdulillah. hehe)

X: “awas nek serumpun karo gayus” (awas kalau serumpun sama gayus)

dari pernyataan itu sebenarnya bermakna ganda, bisa jadi untuk mewanti-wanti, bisa jadi untuk mencibir.

Ketika saya diberi pernyataan seperti itu, apa yang harus dijawab, sebenarnya saya bingung. Serumpun nyatanya memang kita serumpun sama gayus, rumpun melayu, kan? Soal sekolah di STAN pun iya sama-sama sealmamater.lalu sy jawab:

A: “yo pncen serumpun, melayu. haha” (iya memang serumpun, melayu. haha)

X: “haha, wah bakat dadi the next gayus ki” (wah bakat jadi ‘the next’ gayus nih)

Mak “dheg!”, “JLEB!”. Rasanya menohok sekali. Malu, dan ragu untuk melanjutkan pembicaraan. Tapi segera saya tepis, mungkin ini maksudnya cuma buat guyon.
Sejak dulu STAN dikenal sebagai sekolah yang mendidik calon pegawai yang akan bekerja di lingkup departemen keuangan. Perlu diketahui, bahwa Depertemen Keuangan tidak melulu mengurusi pajak saja, tapi juga tentang aset negara, anggaran, fiskal dan sebagainya yang berhubungan dengan uang.

Perlu diketahui, STAN itu didirikan karena DepKeu itu butuh PELAKSANA, tau kan apa artinya? jadi tak ada lulusan STAN yang langsung jadi pegawai tinggi, lulus dari STAN itu ya D3, diangkat jadi PNS golongan 2C. “ah,tapi kan gajinya itu lhoo”. Iya memang, di departemen kami sudah ada renumerasi. Tapi itu bukan korupsi. Ingat itu.

Masyarakat terlanjur mempersepsikan STAN dengan persepsi masing-masing. ada yang ingin anaknya kuliah di Stan, karena berharap anaknya dapat segera mapan dan mendapat pekerjaan. Meringankan beban orang tua lah. Kebanyakan itulah motiv daripada anak-anak yang berkuliah di sini.

Pernah kemarin dosen HAN saya berkata: “Anak STAN mana sih yang jika ditanyai alasan mengapa masuk STAN itu menjawab bukan karena ingin membahagiakan orang tua atau mereingankan beban orang tua?”. Ya benar sekali beliau ini.

Kebanyakan anak STAN jika ditanyai alasan masuk STAN adalah yang pertama ‘meringankan beban orang tua’. Kuliah di sini dibiayai negara, negara mendapat dana dari rakyat salah satunya dengan pajak. Pajak itu berkontribusi 70% lebih untuk APBN.

Saya bukan ingin memaksa kalian untuk memahami tentang apa itu STAN dan mahasiswanya, hanya saja ingin mengabarkan, ini lho sebenarnya. Khususnya yang sensitif itu kalau soal Pajak. Gayus itu bukan mengkorupsi pajaknya, pajak itu ketika dibayarkan masuknya langsung ke Bank, gak ke DJP, bayarnya pun kita ke Bank, atau ke KPP yang pasti ada pegawai Bank nya yang melayani pembayaran pajak. Trus korupsinya apa? Yang ‘nakal’ itu jika sengaja meloloskan SPT yang salah agar pajak terhutang Wajib Pajak lebih sedikit dari yang seharusnya, lalu petugas pengoreksi itu di suap oleh Wajib Pajak yang mengemplang tersebut demi meloloskan SPT yang salah itu (CMIIW).

Bayangkan saja, kalau suapnya aja bisa sampai Miliaran begitu si Gayus, berarti pajak yang dikemplang itu berapa?? pasti lebih besar!

Mungkin beberapa diantara kalian juga belum tahu, bahwa ketika lulus kelak, mahasiswa STAN itu akan ditempatkan di mana saja di seluruh Indonesia. Bayangkan saja mereka yang rela berkorban jauh-jauh ditempatkan di kabupaten terpencil di pulau yang hanya bisa ditempuh dengan kapal boat atau jalan kaki untuk sampai kantor, dan sebagainya. Jangan salah, mereka itu rela berkorban demi negara.

Dosen saya HAN juga beranekdot, tanpa mengurangi rasa hormat kepada almamater UI dan ITB, begini: “Kalian pikir, berapa sih lulusan ITB, apalagi yang terbaik atau lulusan UI yang terbaik yang langsung bekerja dan mengabdi untuk Indonesia?? ada yang tau? Kalian harus bangga jadi anak STAN, 99.9% lulusannya pasti bekerja dan mengabdi untuk negara.”

Sekali lagi tanpa mengurangi rasa hormat pada universitas yang bersangkutan.

Sekian, jadi siap kan lah mental kalian, siaplah tentang penempatan, siaplah tentang hujatan, siaplah akan godaan bagi yang ingin kuliah di STAN dan menjadi PNS selama sisa hidupnya. (lebay:red)