The Subejo

Mlaku Bareng-bareng

Tag: cerpen

Pelajaran dari Cerpen “Orang yang Selalu Cuci Tangan”

Oleh Setyoko Andra Veda

Minggu pagi, 19 Mei 2013, saya melihati timeline di jejaring sosial Twitter saya. Hal tersebut hampir selalu saya lakukan tiap hari untuk mengetahui berbagai pemutakhiran informasi yang terus berjalan di kehidupan, kehidupan maya, entah itu berita dari Tempo, Kompas, Detik, Metro, dan lain sebagainya. Kebetulan, hari Minggu kemarin cukup terik dan cerah di pagi hari, sehingga suasana hati pun mendukung untuk terus memerhatikan timeline.

Secara tidak dinyana, saya melihat ada nama Seno Gumira Ajidarma tertulis di salah satu cuitan seseorang yang dicuit ulang (retweet) oleh seseorang yang saya ikuti. Dari situ saya mendapat informasi bahwa Kompas Minggu kali ini menampilkan satu cerpen dari penulis favorit saya itu, judulnya Orang yang Selalu Cuci Tangan. Ketika di-search, ternyata banyak juga yang berkomentar mengenai cerpen ini. Kata mereka kebanyakan, cerpen ini menohok kepada para pejabat, harusnya banyak yang tersindir.

Berita mengenai cerpen itu sangat menarik untuk saya, maka saya memutuskan untuk membeli koran Kompas Minggu itu di Jalan Ceger Raya depan Pondok Safari, 3500 rupiah, hanya untuk membaca cerpen itu.

Dibukalah koran itu lembar perlembar, dan ketemu juga. Di paragraf awal, dicetak tebal tertulis kalimat awal, “Semua orang di kantornya sudah tahu, ia selalu mencuci tangannya.”, seolah langsung memberi gambaran jelas tentang tokoh yang hendak diceritakan dan menjadi pusat perhatian. Ia memang selalu mencuci tangan, hingga ia benar-benar terkenal sebagai orang yang suka dan bahkan selalu cuci tangan.

cuci tanganFrasa “cuci tangan”, dalam bahasa Indonesia memiliki makna denotatif sebagai mencuci tangan sendiri, biasanya dengan air dan sabun atau sesuatu lain untuk menjadikan tangan bersih, dan juga makna konotatif sebagai –dalam pemahaman saya– melepas keterlibatan diri terhadap sesuatu sehingga tidak menimbulkan tanggung jawab dan tidak diketahui oleh orang kebanyakan bahkan sebisa mungkin hanya dirinya yang tahu.

Seno, seperti dalam cerita tentang Guru Kiplik dalam cerpen Dodolit dodolit dodolibret, menggunakan cerita pendek kali ini sebagai bahan pelajaran kehidupan, atau bahasa mudahnya: sindiran, kepada kita semua. Tentu tidak melulu objek yang disindir oleh penulis adalah suatu golongan tertentu. Cara Seno menggunakan cerita fiksi yang benar-benar fiksi, karena merupakan cerita imaji yang di realitas kehidupan tiada akan pernah ada, untuk memberi pelajaran berharga pada para pembacanya adalah sebuah cara yang cerdas, sangat cerdas. Dengan sebuah perumpamaan seperti itu, sebuah fiksi dapat menjadi seperti sebuah bejana yang besar, dimana bejana itu akan mampu menampung seluruh kucuran air makna. Semua bisa kena sindiran tersebut. Tentu diperlukan pemahaman dan penafsiran yang luas daripada pembaca.

Selalu saya ingat kata-kata dari Goenawan Mohammad, bahwa fiksi sering dibebani tafsir yang tak diniatkannya sendiri seperti halnya sebuah puisi, pun tulisan ini. Saking luasnya dan getolnya kita menafsirkan sebuah cerita pendek, atau puisi, atau karya sastra lain, segala hal yang dapat disangkut-pautkan akan kita tarik menuju cerita ini dan kita bandingkan. Cerita ini lantas berubah bagaikan padang pasir yang akan menyerap air makna betapapun banyaknya itu, semua tersedot dan tenggelam dalam butiran pasir kata.

Ia diceritakan sering merasa kotor, sehingga selalu saja mencuci tangannya. Walaupun merasa adalah tetap saja merasa, belum tentu sebenarnya. Bagaimanapun, rasa adalah sesuatu yang abstrak, tidak melulu konkret. Apakah jika kita merasa salah lantas kita benar-benar salah, pun jika kita merasa benar lantas faktanya kita memang benar? Kan seseorang tidak bisa menilai dirinya sendiri, makanya seseorang memerlukan orang lain. Makhluk sosial, makhluk klasik, manusia.

“Wajah itulah!” pikirnya, wajah yang katanya selalu muncul di media massa, yang selalu dijaga kehormatannya, sehingga tampak terhormat. Gambaran mengenai wajah dalam cerita ini tentu saja bisa berarti sebenarnya, maupun tidak sebenarnya. Maksudnya, wajah adalah sebuah citra mengenai diri seseorang. Wajah adalah yang, mau tak mau, pertama dilihat oleh orang lain dalam menilai diri kita. Meski wajah bukanlah satu-satunya indikator penilaian terhadap seseorang. Suatu wajah yang bagus akan memberi kesan yang baik pada seluruh orang yang melihatnya. Wajah yang teduh, damai, terhormat, yang akan menimbulkan kesan baik. Dan memang benar, wajah haruslah dijaga.

Kembali lagi dalam “cuci tangan”, mana yang lebih baik antara mencuci tangan karena merasa tangannya kotor, atau mencuci tangan karena tangan betul-betul dalam keadaan kotor? Ia sudah tidak dapat membedakan apakah ia hanya merasa ataukah ia memang pada faktanya bertangan kotor, saking seringnya ia mencuci tangan, karena kegemarannya memang cuci tangan.

Sekarang, apakah kita dapat membedakan bahwa posisi kita dalam kehidupan ini adalah benar, ataukah salah? Sedangkan kebenaran adalah absolut, namun perspektif mengenai kebenaran itu sendiri adalah abstrak.

Kemudian, di dalam cerpen tersebut disebutkan bahwa ia ingin percaya betapa tangannya itu sendiri sebetulnya adalah tangan yang bersih, meskipun ia selalu melihat atau merasa tangannya betul-betul kotor, sangat kotor. Sementara, ia masih saja terus melakukan pekerjaan kotor.

Ada kalanya, di dalam hidup ini manusia ingin percaya bahwa yang telah diperbuatnya adalah perbuatan yang terbaik bagi dirinya. “Ini adalah yang terbaik”, begitu kata hati tiap orang ketika menyelesaikan suatu perbuatan yang hasilnya entah itu baik atau buruk. “Tuhan telah menetapkan ini semua. Ini adalah yang terbaik. Aku telah melakukan yang terbaik yang aku bisa.”, demikian kata hati. Meskipun pada kenyataannya di luar pandangan kita, kita tak pernah tahu bahwa itu memang baik atau buruk. Begitu mengerikannya dunia ini jika manusia-manusianya sudah tak dapat lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Dalam ajaran agama, tentu ada sebuah doa yang sering dipanjatkan agar seorang manusia yang berdoa itu dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kurang lebih seperti ini: “Ya Tuhan, sahaya bermohon tunjukkan lah pada sahaya bahwa suatu perbuatan baik itu baik, dan berilah hamba kekuatan untuk mengikutinya. Serta tunjukkanlah pada sahaya bahwa suatu perbuatan buruk itu buruk, dan berilah hamba kekuatan untuk menjauhinya”.

Ketika kita telah benar-benar dapat membedakan yang baik dan yang buruk secara fakta, bukan berlandaskan sentimentalisme belaka, maka saat itulah pencapaian seorang manusia telah mencapai setengahnya. Setengah yang lain kemana? Tentu dengan cara melaksanakan yang baik, dan meninggalkan yang buruk, bukan hanya membedakan keduanya.

Dan kembali pada cerpen, pada akhirnya ia memang menjadi sedikit gila karena sudah tak dapat membedakan yang baik dan buruk. Itu lah manusia yang benar-benar merugi. Ia hanya ingin selalu percaya bahwa tangannya selalu bersih, bahwa yang diperbuatnya memang bersih, sehingga tak menyadari betapa dirinya sebenarnya sedang dalam keadaan tangan kotor. Sampai air kran yang sangat kotor ia anggap sebagai air yang bersih dan digunakannya untuk mencuci tangan. Bahkan ketika ia tetap melaksanakan pekerjaan kotor yang kali itu berkaitan dengan darah seseorang, sehingga air yang mengucur dari kran berupa darah merah, ia tetap ingin percaya bahwa yang mengucur adalah air bersih, dan digunakannya pula untuk mencuci tangan, bahkan wajah, tempat segala kehormatannya selama ini dipertahankan.

Lantas, apakah kita sudah dapat membedakan yang mana baik dan yang mana buruk, paling tidak untuk diri kita sendiri?

Mari Menulis!

Kali ini kita bertemu dalam kesempatan yang bukan dalam sebuah penceritaan. Saya hanya ingin membagi beberapa tips dasar, sangat dasar, untuk dapat menulis, khususnya cerita. Saya pribadi terkadang masih sulit untuk dapat menulis dengan baik dan benar, bahkan indah.

Banyak orang yang sulit untuk menuliskan cerita atau mungkin malas untuk menulis saja. Hal itu kadang-kadang dikarenakan oleh dirinya sendiri yang memaksakan kehendak untuk menulis, padahal dirinya sebenarnya tak ingin melakukannya. Itu tandanya kita belum sepenuhnya memahami diri kita sendiri. Jadi, jangan paksa dirimu untuk menulis jika memang tak ingin menulis, karena itu pecuma. Kata-kata yang akan keluar dari tanganmu hanyalah kata-kata yang terpaksa dilembarkan. Berikut beberapa tips untuk menulis.

Bangun mood menulis

Mood adalah faktor utama untuk menghasilkan tulisan yang indah. Dia berperan penting untuk menjaga kondisi pikiran agar selalu dapat mencari inspirasi dan diksi. Tanpa mood, orang cenderung untuk menulis asal. Hal ini terjadi dan dialami kebanyakan oleh orang yang awam dalam menulis, artinya bukan orang yang profesional atau berprofesi dalam hal tulis menulis. Orang yang sudah profesional dalam hal tulis menulis, bahkan tak perlu mood yang bagus sekali pun untuk menulis, karena dunianya memang itu. Ibarat menulis sama dengan dia berbicara, semudah itu.

Cari inspirasi

Inspirasi adalah produk dari mood yang baik. Namun kadang juga orang bisa mendapatkan inspirasi tak terbatas dalam keadaan bagaimana pun. Pergilah ke tempat-tempat tertentu yang menenangkan atau menakjubkan. Pergilah ke sekeliling rumah, bergaul dengan tetangga, teman, saudara, dan sebagainya. Semua interaksi sosial dapat menjadi inspirasi. Semua kejadian dapat menjadi inspirasi. Semua itu tergantung bagaimana kita memiliki persepsi mengenai kejadian itu. Inspirasi pada dasarnya tak terbatas, hanya saja kadang manusia hanya menangkapnya sepintas karena berlalu dengan cepat. Inspirasi juga bisa dicari dalam ingatanmu sendiri. Cobalah ingat-ingat kejadian seharian tadi, atau kejadian masa lalumu, siapa tahu bisa menemukan sesuatu yang menarik.

Bayangkan!

Setelah mendapatkan inspirasi untuk menulis tentang sesuatu, maka bayangkanlah sesuatu itu secara detail sampai hal paling kecil sekalipun. Mengapa harus membayangkan secara detail? Hal ini digunakan untuk menghasilkan kata-kata atau menambah tebal halaman. Namun, tentu saja bukanlah asal-asalan dalam menghasilkan kata-kata yang merupakan diskripsi tersebut. Jika yang hendak anda tuliskan adalah sebuah obyek yang jelas dan memang ada, anda bisa mendatanginya dari dekat. Jika itu berupa khayalan atau angan, maka angankanlah dan buatlah angan itu secara detail. Anda lah yang memiliki kuasa atas angan anda.

Pilih diksi yang tak biasa namun indah

Diksi atau pilihan kata adalah inti dari menulis indah. Diksi datang dari pengalaman. Oleh karenanya, saya hanya bisa menyarankan untuk banyak-banyak membaca atau memperhatikan orang berbicara untuk mendapatkan diksi yang tak biasa. Atau jika anda memiliki keahlian khusus yang memang sebuah karunia, tentulah anda dapat mengolah dan mempermainkan kata dalam sebuah bahasa menjadi barisan kalimat yang indah adanya.

Jangan asal menulis

Menulis asal adalah menulis yang seperti tiada berisi apa pun tuk dipelajari. Sebaiknya, dalam sebuah tulisan, semisal cerpen, selipkanlah sebuah pesan moral yang bisa diambil oleh para pembacanya. Menyelipkan pesan moral ini terkadang lebih sulit daripada memasukkan benang ke dalam lubang jarum, oleh karena itu, berilah nyawa kepada tulisan anda yang berupa cerita atau apa saja, dengan kesan yang dapat menjadi pelajaran bagi para pembaca. Selamat mencoba!

Pendekar

Aku memiliki seorang teman, dia adalah seorang penyendiri. Layaknya seekor elang, dia selalu sendiri kemana pun pergi, tiada teman yang menemani, hanya sendiri. Aku tak tahu apakah dia memang suka seperti itu, atau memang karena sesuatu maka banyak yang tak mau bersamanya, atau entahlah. Namun dalam kesendiriannya, aku menduga dia adalah seorang pemikir hebat, ya pemikir yang selalu berpikir tentang apa pun. Sayangnya aku tak melihatnya berbuat apa pun pula.

Namanya Mr.X, dia adalah seorang tokoh dalam cerita ini yang belum terselesaikan dan tentu saja sebenarnya belum diberi nama. Pernah suatu ketika aku sedang menonton suatu pentas di gedung teater, dia datang sendirian. Sewaktu dia melihatku, dia mendekat dan tersenyum. Pun aku menawarkan tempat duduk di sebelahku yang kosong.

“Hei, sendiri?”

“Ya. tentu..” jawabnya santai.

“Kenapa tak bersama seorang pun teman??” tanyaku penasaran. Terucap begitu saja. Namun dia hanya tertawa, tertawa biasa. “Kenapa tertawa?” tanyaku lanjut. Aku penasaran.

“Aku ini pendekar pengembara, maka dari itu aku selalu sendiri kemana-mana.” jawabnya santai. Aku mengernyitkan dahi, heran dengan tingkahnya. Gila.

“Benarkah?”

“Tentu..!”

Lalu aku tak menanggapinya lagi, melihat terus ke depan ke arah panggung yang sebentar lagi akan dimulai pentasnya.

Wow, orang ini benar-benar gila, pikirku. Aku tak habis pikir, bisa begitu jawabannya padaku. Seorang pendekar? Becanda saja.

***

Cuaca terik, angin seolah enggan tuk berhembus, jikalau berhembus pun akan sangat perlahan sehingga tiada terasa pengaruhnya di kulit ini. Aku berjalan pulang dari kerja, berjalan kaki tentunya, karena itu kebiasaanku.

Di tengah perjalanan, tak kusangka aku tetiba dihadang segerombolan olang. Perampok!

“Serahkan uangmu!” Kata salah seorang dengan nada membentak.

“Hei, saya pekerja pabrik biasa, kenapa tak meminta pada yang lebih punya saja?!” sakutku tak kalah bentak.

“Jangan banyak alasan kamu!”

“Siapa pula beralasan? Saya hanya bertanya.”

“Ah, kelamaan cakap!” Lalu ada salah seorang lain mengayunkan pukulan, hendak memukul wajahku. Aku berusaha menghindar sebisanya.

Namun tetiba saja, aku menyadari bahwa sebelum aku menghindar sepenuhnya, orang yang mengepalkan gendamnya padaku telah jatuh tersungkur. Aku terkejut bukan kepalang. Lalu kulihat bayangan cepat menyambar-nyambar pada gerombolan orang itu, cepat, sangat cepat, bagaikan tiada lagi yang lebih cepat dari bayangan itu, aku pun hanya melihatnya sepintas cepat. Dalam sekejap orang-orang yang mengepungku ambruk tak berdaya.

Terkejutnya aku bukan kepalang ketika menyadari bahwa Mr.X telah berada di sisiku.

“Sudah kukatakan sebelumnya, aku ini pendekar.” Katanya tenang. Lalu dia berbalik arah dan pergi.

 

Negeri Tanpa Kritik

Alkisah, Alengka Diraja adalah sebuah negeri yang dikuasai oleh Prabu Rahwana, Putra Rsi Wisrawa dan Dewi Kaikesi. Prabu Rahwana itu orangnya arogan, walaupun begitu negeri Alengka Diraja lumayan anteng dan ayem, damai dan hampir tiada keributan di daerah-daerah. Mungkin karena kearoganannya itu, Prabu Rahwana tiada pernah mendapat kritik, lagi pula apa yang hendak dikritik jika rakyatnya kenyang dan tiada mengeluh. Hidup damai tanpa maling, tanpa rampok, tanpa preman, dan sebagainya yang membelenggu kehidupan harmonis rakyat. Tapi ya itu, satu masalahnya yaitu rakyat Alengka tiada berani mengungkapkan apa yang seharusnya diungkapkan yang menjadi haknya.

Togog dan Bilung, jika di pihak Ksatrya adalah punakawan, tapi di pihak para Raksasa ada Togog dan Bilung. Konon Togog yang mulutnya sobek itu adalah bersaudara dengan Pak Semar di Ayodya sana dan Btara Guru di Kahyangan sana.

“Gog, negara ini hampir ndak ada dinamikanya, hampir tidak ada gregetnya sama sekali.” celetuk Bilung.

“Lha kenapa to?”

“Kenyang si kenyang, Gog, tapi aku gak bisa mengungkapkan uneg-unegku ke pemerintah, apalagi kamu tahu to Prabu Rahwana itu seperti apa?”

“Lung, di sini semuanya berparadigma bahwa mengkritik itu harus punya kemampuan yang lebih dari yang dikritik. Misal, kalau kamu mengkritik Presiden kita itu, emangnya kamu bisa apa ngerjain tugas sebagai presiden? susah lhoh..” Togog menggaruk-nggaruk tangannya, agaknya belum mandi sejak kemarin sore.

“Tapi, Gog, seorang pengkritik itu juga diperlukan buat menyeimbangkan dan mengkoreksi perbuatan yang dikritiknya, terlepas dari apa dia bisa berbuat demikian atau tidak. Contohnya, komentator sepak bola itu kan ndak harus pemain bola, ndak harus pintar main bola. Komentator MotoGP itu ya belum tentu bisa membalap seperti Jorge Lorenzo, Valentino Rossi, Pedrosa, dan sebagainya itu. Kalau ndak ada komentator bersuara, ndak ada kritikan, ndak ada media kaya sekarang ini, sepi, Gog. Kalau ndak ada kritik, gimana mau maju? Gimana mau bergerak negara ini? Lama-lama rakyat juga bakal bosan.”

“Bener juga ya.”

“Ya iya to ya, Contoh lagi, kritikus film itu belum tentu bisa membuat film sebaik film yang dimilikinya, tapi para sutradara menghormati para kritikus itu tuh, sebagai koreksi atas hasil karyanya. Terlepas jika kritikus itu terkesan omong thok, tapi apa yang dilihatnya itu kan pandangan dia, jika ada yang kurang pas dimata sang perngkritik itu, mengkritiklah dia.”

“Tapi, Lung, kita itu buat apa mau mengkritik Prabu Rahwana? Lah wong sekarang hidup kita sudah lumayan kok, ndak ada maling, ndak ada perampok, apalagi preman. Semua tunduk pada kekuasaan Prabu Rahwana. Semua takut berbuat jahat. Kurang apa lagi? Hendaknya kita itu menjadi orang yang bersyukur to ya.”

“iya juga si, Gog.”

dari kejauhan, Surpanaka, adik Prabu Rahwana terlihat sedang jalan-jalan menikmati pagi yang cerah. Tapi, tiada burung yang berkicau karena takut padanya. Takut dikira mengkritik suara Surpanaka yang serak-serak basah itu.

“Eh, ada Mbak Surpanaka. Gimana kabarnya, mbak?” sapa Togog dengan ramahnya. Surpanaka hanya diam dan melihati keduanya, Togog dan Bilung.

“Apa lihat-lihat??!” katanya ketus.

“Heem, ndak apa-apa kok, Gusti.” kata Bilung. Lalu Surpanaka melanjutkan jalan-jalan paginya itu.

Setelah agak jauh, dan kira-kira Surpanaka tidak bisa mendengar percakapan Togog dan Bilung, mereka mulai pembucaraannya lagi.

“Nah, sekarang lihat itu, Gog. Surpanaka itu siapa sih yang berani mengkritik dia di negeri ini? Paling ya kakaknya sendiri. Sampai burung-burung kuning itu, yang kaya Angry Bird itu, takut berkicau.”

“Biarkan aja to, Lung.”

“Sekarang ya, Gog, apa sih yang salah dari sebuah kritikan jika yang dikritik itu legowo dan nerima, Andai saja pikiran semua orang di sini tidak sama, yaitu bahwa mengkritik itu harus ahli dalam bidang yang dikritiknya, kita pasti bisa lebih maju.”

“Jaminannya? Lihat itu Indonesia di timur sana.”

“Bukan begitu, Gog. Aku cuma mau meluruskan aja, bahwa jika kita mengkritik itu, tidak harus ahli dalam bidang yang kita kritik. Kalau paradigmanya begitu, orang yang tidak bisa apa-apa hanya akan terima melihat dari kejauhan, ‘oh, begitu ya, aku ndak bisa kaya gitu, baiknya aku diem aja’, beeuh! macam mana pula itu.”

Togog dan Bilung melanjutkan pembicaraan mereka pagi itu, tentang kritikus-kritikus yang suka mengkritik, entah itu kritik pedas, kritik manis, kritik udang, kritik tempe, dan sebagainya.

Sementara itu di Indonesia sana, banyak orang yang mengkritik asal njeplak, banyak juga yang mengkritik demi perbaikan, ada juga yang mengkritik biar masuk TV, dan sebagainya.

“Sekarang ya, setiap orang itu punya perannya masing-masing, Gog. Tempatnya para pengkritik itu sebagai oposisi yang mengkoreksi pemerintah contohnya, seorang Koki kalau di restoran pun bakal dikritik pengunjung restoran kalau ada yang tidak pas dengan masakannya, walaupun si pengunjung itu belum tentu bisa masak sehebat koki. Dan kalau di rumah, si koki juga belum tentu akan menggantikan si istri untuk memasak.”

“iya, iya.. aku mudeng, Lung. Tapi, contoh itu di Indonesia di timur sana. Banyak pengkritik, komentator, yang ngomong cuma biar masuk TV, biar dapet duit, kurang bertanggung jawab. Hal yang tidak perlu dikomentari pun dikomentari.”

“Itu demokrasi, Gog. Tapi kebablasan. Hahahaha”

“ya itu, intinya kita itu kalau komentar harus yang bertanggungjawab dan punya alasan,walaupun tidak ahli dalam bidang yang dikritik, to?”

“iya, Negera kita sayangnya tidak bisa seperti itu. Aku jadi pengen ke Indonesia saja. Yang bebas ngomong, bebas buang sampah sembarangan juga.”

Dan keduanya terus melanjutkan perbincangan sampai lemas.

Gareng Misuh, Semar Mesem (Gareng Mengumpat, Semar Tersenyum)

Gareng menjadi panitia di acara pemilu Astina, ada dua kandidat katanya, si Duryudana sama si Yudistira. Calon nomor 1 itu si Duryudana, calon nomor 2 itu si Yudistira. Sebelum ada pemilu itu, menjelangnya, terjadi persaingan sengit di ajang kampanye antara dua calon itu. Contohnya, ada itu di twitter yang buat akun ‘kritik’, tapi cuma kritik, jadi kerjaannya cuma kritiikk thok, dikit-dikit dikritik, tapi pernah juga muji. yang di kritik itu apa? ya perpolitikan di Astina sini, yang kotor katanya, yang didominasi oleh para Kurawa itu. Dikit-dikit kalau ada acara, mesti ada bala Kurawanya, mesti ada orang yang itu-itu aja. Wah, bisa jadi ini Astina bakal stagnan, bakal gak maju-maju. Nama akunnya kalau tidak salah itu @astinaleaks, mengungkapkan segala kebobrokan astina, gak ada yang tahu siapa itu adminnya, yang jelas katanya, orang dalam kerajaan aja.

Gareng bingung dengan persiapan pemilu ini, di sisi lain dia harus sekolah sama Petruk, di sisi lain dia harus mempersiapkan segalanya buat pemilu ini. ”

“Wah, publikasinya ini belum selesai. Njlimet! Sementara itu si @astinaleaks terus ngritik kinerja. Apa-apaan coba dia ngritik terus gak ada habisnya, emangnya dia itu kerja, apa? Boro-boro kerja, nunjukin identitas aja enggak. Gila!” celetuk ketusnya si Gareng, ceritanya ini lagi curhat sama si Petruk.

“Sudahlah, Reng. Lagian siapa suruh kamu itu ikut-ikutan jadi panitia pemilu segala, kamu kan jadi ikutan kena masalah to”

“Ya maksudku bukan itu, Truk. Aku itu ikut buat menyemarakkan acara pemilu ini, paling tidak itu aku peduli lah sama negara kita ini, nggak kaya kamu!”

“Lho? kok aku disangkutpautin? salahku apa?”

“Kamu itu apatis, kerjaannya belajar melulu! Aku pulang maghrib terus ke kamar, eh ada kamu lagi bukak buku, lha aku?”

“yo itu kan sudah tugas kita buat belajar, Reng. Amanat orang tua je.”

“Paling tidak kan kamu juga peduli sama negara Astina ini.” Gareng mengucapkan itu sambil berlalu ke dapur, mau buat kopi.

“Lho? aku itu peduli kok. Aku juga ikut jadi peserta acara-acara yang ada di negara ini. Aku ikut upacara bendera tiap senin, aku ikut kemarin itu nonton konser Mocca lho. Kalau nggak ada aku, nggak ada kami para penonton, acara selevel itu bakal gimana coba? Aku buatin kopi sekalian, ya!”

“Ah, kamu itu gak ngerti si, paling tidak kan harusnya kalian itu mengapresiasi kami.”

“Yo bentuk apresiasinya itu kami jadi peserta, Reng.”

Sampai saat pelaksanaan pemilu tiba, si Gareng jaga di TPS. Banyak juga yang menggunakan hak pilihnya, eh tapi tunggu dulu, kayaknya lebih banyak yang lewat TPS tanpa mampir atau menoleh sedikitpun. Gareng pun emosi, tapi dia pendam itu dalam-dalam di dalam hati.

Saat para punakawan kumpul jejagongan di emperan gedung pusat Astina, si Gareng pun mengeluarkan uneg-unegnya. Uneg-uneg tentang keapatisan para warga di Astina ini. Petruk yang sudah tahu masalahnya cuma manggut-manggut, si Bagong malah sibuk mainan hape, entah itu twitteran apa fesbukan. Pak Semar dengan sabar mendengarkan.

“Gong! mbok ya kalau lagi dicurhatin itu memperhatikan to ya, aku tersinggung ini bicara nggak didengerin sama kamu” celetuk Gareng.

“Aku itu sambil gini sambil dengerin kamu to ya.”

“Sudah-sudah, lanjut lagi ceritanya, Reng” kata Pak Semar.

“Ya itu, pak.. ditambah lagi itu ada yang ngritik pelaksanaan pemilu kemarin itu gak megah, gak menarik blas. Publikasinya ngapusi (membohongi)” kata Gareng

Ngapusi gimana?” sahut Bagong, tapi dia masih tertuju pada hapenya, jempolnya yang gedhe-gedhe itu menekan-nekan keypad yang kecil.

“Yo ndak tahu aku. Mereka itu bisanya cuma ngritik aja, ndak tahu apa kita para panitia dah kerja mati-matian buat terselenggaranya pemilu ini.”

“Njuk ini siapa yang menang to?” tanya Pak Semar

“Kayaknya calon nomor 2, Pak Yudhistira alias Puntadewa” sahut Gareng.

“Nah itu, kemarin itu akun @astinaleaks itu juga mendukung si nomor 2 itu buat jadi presiden di Astina ini.” kata Bagong, sekarang pandangannya sudah tertuju ke Gareng.

“oh, jadi dia lagi to? provokator! sok benar!” si Gareng misuh(mengumpat), “itu black campaign“.

Di saat suasana memanas seperti itu, Pak Semar seperti biasa tetap berpikiran dingin, berusaha bersikap bijak dan menengahi para punakawan itu.

“Sudah-sudah. Sebenarnya ini masalah simpel.” kata pak Semar.

“simpel? simpel gimana?” celetuk Gareng.

“Reng, mbok ya kamu santai saja to ya.. Gini, masyarakat to punya hak antara memilih si Duryudana atau si Yudhistira, itu to? Lalu mengenai masalah hak itu, orang yang punya hak kan bebas hendak menggunakan haknya atau tidak menggunakannya sama sekali. Lain halnya dengan kewajiban, kalau kewajiban itu harus dilaksanakan. Kalau kamu diwajibkan buat menghormati presiden, ya itu artinya kamu harus. Tapi jika menghormati presiden itu adalah sebuah hak, maka terserah kamu mau hormat atau tidak. Begitu juga dengan pemilu ini kan. Itu sudah diatur dalam Undang-undang Dasar Astina lho. Jadi sekarang ndak usah mempermasalahkan mengenai orang yang tidak mau menggunakan haknya.”

“Itu juga aku tahu, pak. Tapi, masa ya terus-terusan seperti ini? Masa terus-terusan pada tidak mau menggunakan haknya? Atau haknya baiknya dicabut saja?”

“Ndak gitu juga, nak. Hak itu timbul setelah adanya sebuah kewajiban yang terpenuhi, ndak bisa dihapus begitu saja. Kalau terus-terusan seperti ini, mungkin itu ada faktor-faktor X yang membuat mereka apatis. Contohnya, mereka itu sibuk dengan kerjaannya sendiri, atau mereka males buat memilih karena pilihan itu kan dipertanggungjawabkan lho ke Tuhan, kalau kamu pilih calon presiden, terus calonmu itu jadi, kamu berarti ikut berkontribusi jika dia melakukan kesalahan suatu saat ketika dia menjabat. Kalau masalah itu sudah pikiran sufi itu.. haha”

“lantas?”

“Lantas mereka tak mau memilih. Sekarang coba kita memandang masalah itu dari berbagai sisi, Reng. Jangan memandang masalah itu cuma dari segi pandanganmu saja, jangan dari point of view yang sama. Ibaratnya kalau kita lagi jalan-jalan ke Merapi, kita bisa memandang gunung Merapi itu dari berbagai sisi to, kalau orang Jogja pasti menganggap merapi itu ada di sebelah utara, di Jogja kalau bingung arah ya tinggal lihat di mana Merapi itu, itu pasti utara. Lain halnya kalau orang Magelang bicara, pasti menganggap Merapi ada di sebelah timur, apa lagi orang boyolali menganggap Merapi di barat. Jadi pandanglah sesuatu itu dari berbagai segi, biar kamu paham pandangan orang lain terhadap sesuatu itu, tinggal kita menyinkronkan pandangan kita terhadap sesuatu itu. Orang jogja dan orang magelang menyinkronkan bahwa kesimpulannya merapi itu tinggi, soalnya bisa dilihat dari wilayah mereka masing-masing. haha. Dengan cara seperti itu, kamu itu jadi tidak sewenang-wenang dalam menilai suatu itu.”

“Lha kaitannya sama pemilu ini apa, Pak e?” celetuk Bagong, dia masih pegang hape dan twitteran.

“Apa ya hubungannya? bingung aku. hahaha” Pak Semar ketawa, susunya tersental-sental keatas kebawah karena saking gemuknya beliau itu. Lucu kalau dilihat. “Gini, Reng. dah kamu itu ndak usah misuh-misuh tentang orang-orang yang suka mengkritik, entah itu disertai solusi atau sama sekali gak ada solusi. Mereka itu berhak bicara. Tugasmu itu mendengarkan kritikan itu dan mengkoreksi kinerjamu itu. Kalau sudah sesuai aturan, ya biasa saja, ndak usah kebawa emosi. Jelaskan yang baik-baik kepada mereka tentang sistem internal, orang mengkritik itu kan karena mereka itu memandang ada cela di dalam suatu pelaksanaan. Mungkin yang menurut kamu sudah benar, belum tentu sudah benar di mata dia, kan iya to? Jelaskan secara baik-baik, pahami ketidaktahuan mereka. Kalau ada statement yang agak menyakitkan, anggap saja itu pelajaran dari Universitas Kehidupan ini, nak. Di Universitas Kehidupan itu, IP tidaklah penting, yang penting itu prosesnya, proses kamu melakukan segalanya.”

“Itu, Reng! kemarin itu aku mau bicara begitu, tapi sulit ngomongnya”, kata Petruk. Kali ini dia mencoba angkat bicara. “Kamu kan termasuk orang yang penting di Astina ini, jadi kamu itu harus lebih bisa memahami kebanyakan rakyat, jangan maunya mereka yang memahamimu thok. Intinya itu saling memahami.”

“Trus, gimana kalau kita sudah memahami mereka, eh tapi mereka tidak mau paham juga ke kita?” Gareng mencoba bersikap.

“Nah, itu masalah belakangan sebenarnya, tapi itu juga simpel, nak. Kita itu tidak bisa menuntut orang lain untuk memahami kita, tapi kita bisa menuntut diri sendiri untuk dapat memahami. Sekarang lebih penting mana antara kamu mau memahami orang lain atau kamu dipahami tanpa memahami orang lain?”

“Bahasanya njlimet(membingungkan)!!” Bagong menyela. Eh, ternyata dia itu sudah memperhatikan. Ki Semar cuma tersenyum melihat anaknya itu, yang lahir dari bayangannya sendiri.

“Semua itu sebenarnya adalah terserah kalian, anak-anakku. Hidup itu pilihan. Kalian itu hendak memilih jalan yang mulia, setengah mulia, biasa saja, jelek, super jelek, itu terserah kalian. Kembali ke masalah hak. Tapi tetep harus ingat, GustiAlloh mboten sare (Tuhan itu tidak tidur), Dia itu selalu mengawasi kita, mengawasi pikiran kita yang belum kita ungkapkan, bahkan.” Pak Semar tersenyum, dia sudah tahu bahwa anak-anaknya pasti memahami perkataannya ini.

Tak terasa hari sudah sore, Resi Dorna lewat depan gedung pusat Astina sambil ngasah keris. Sengkuni lagi makan di warung pecel dekat gedung pusat bersama Dursasana, adiknya Duryudana. Sementara itu di dalam gedung pusat, Pandawa lagi merayakan kemenangannya, Ternyata ada Duryudana juga di sana yang juga ikut merayakan dan ikut menyelamati Yudhistira karena terpilih menjadi Presiden Astina.

 

 

Terinspirasi Mbah Sudjiwotedjo, maturnuwun sanget.

Banten, 25 Mei 2011. Setyoko Andra Veda.