Mufakat Kesusilaan RUU KUHP
Susila, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki 3 makna, yaitu
- a baik budi bahasanya; beradab; sopan:
- n adat istiadat yang baik; sopan santun; kesopanan; keadaban; kesusilaan:
- n pengetahuan tentang adab:
Kesusilaan adalah sebuah kata benda yang kurang lebih jika ditafsirkan menurut pandangan awam yaitu suatu hal yang berkaitan dengan susila atau kesopanan, adab, kesopansantunan.
Ndees, sulit sebenarnya jika menjelaskan soal kontroversi RKUHP ini. Aku, setelah membaca beberapa artikel berita hukum, bisa menarik kesimpulan bahwa ternyata itu ada tiga (3) masalah utama dalam penyusunan RKUHP yang tak kunjung selesai ini. Mereka adalah: Ideologi, Kesusilaan, dan Agama. Nah, aku itu di sini hanya mau mengeluarkan uneg-uneg yang hampir membludak di dalam kepalaku ini, bagaikan air kran yang mengucur terus ke ember yang oleh si empunya cucian lupa untuk dimatikan. Kecu sekali!
Konon kabarnya, ketiga persoalan krusial tersebut pun memicu perdebatan diantara para penyusun RKUHP. Seperti yang kita ketahui, KUHP sekarang ini yang dipakai Indonesia adalah KUHP buatan zaman kolonial Belanda lebih dari 100 tahun yang lalu. Gila apa?! Sudah 100 tahun lebih hukum pidana itu dibuat, dan masih saja diterapkan! Maka dari itu, Indonesia perlu berbenah dan perlu memutakhirkan hukum-hukum pidananya. Seperti halnya hukum tentang keuangan negara yang sudah memiliki dasar baru yang dibuat kurang lebih 10 tahun lalu, yaitu UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka hukum pidana pun sudah seharusnya dibuat yang benar-benar milik dan pas untuk bangsa kita sendiri.
Aku di sini hanya mau bahas soal yang Kesusilaan itu. Dalam RKUHP yang sedang digodok oleh para ahli hukum sekarang ini, pasal kesusilaan memuat porsi yang lumayan banyak dibandingkan dengan KUHP yang sekarang berlaku. Kalau ndak salah itu dalam RKUHP menjadi 30 pasal yang berkaitan dengan kesusilaan, di sisi lain, KUHP yang kita pakai sekarang hanya terdapat 19 pasal. Jadi, lebih banyak ngatur soal kesusilaan donk nih si RKUHP? Betul. Mengapa? Karena kebutuhan masyarakat dan tuntutan beberapa golongan.
Ndees, Indonesia ini adalah Negara Hukum, tercantum jelas di Konstitusi Indonesia, UUD 1945 pasal 1. Indonesia itu milik bangsa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Luas banget ya? Pol!
Yang jadi masalah dalam 30 pasal dalam RKUHP yang membahas kesusilaan itu apa to?
Jadi begini, aku pun belum tahu dan belum baca satu per satu dari 30 pasal tersebut, tapi aku tahu inti masalahnya (sombong sekalian). KUHP yang dipakai Indonesia sekarang ini, dalam hal perzinaan, yang disebut perzinaan adalah jika terjadi hubungan kelamin, hubungan intim, coitus, antara laki-laki dengan perempuan yang salah satu atau keduanya sudah terikat dalam jalinan ikatan pernikahan sah (secara negara, ada bukti tertulis, dicatatkan ke catatan sipil, bukan hanya secara agama, misal Islam) dengan laki-laki atau perempuan lain. Mudeng? Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, pasangan laki-laki dengan perempuan yang sama-sama lajang dan kedua-duanya tak sedang terikat dalam ikatan pernikahan yang sah, yang mana mereka melakukan hubungan kelamin, hubungan badan, atas dasar suka sama suka, maka mereka tidak dapat dikenakan pasal perzinaan. Klasik. Hampir semua orang terdidik tahu ini, kecuali yang tidak. Kalau anak kuliahan atau pernah kuliah biasanya sudah banyak yang tahu lah tentang pasal ini, kecuali yang tidak juga. Heuheu. Hal tersebut berbeda dengan hukum Islam. Zina dalam hukum Islam, tak terbatas pada hal yang disebutkan di atas. Zina dalam Islam itu kurang lebih adalah hubungan badan antara 2 manusia yang tidak dalam ikatan pernikahan. Lebih luas.
Dengan hadirnya 30 pasal dalam RKUHP sekarang ini, beredar isu (yang sebenarnya juga sudah lama) bahwa terjadi Islamisasi KUHP. Padahal, KUHP ini nantinya bakal diterapkan di Indonesia yang penduduknya tak hanya beragama Islam saja. Memang benar bahwa Islam adalah agama yang dianut mayoritas penduduk negeri ini, tapi bagaimana dengan sebagian lain yang tidak menganutnya?
Mengenai hal tersebut, pada tahun 2003 lalu, Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku MenKeh, memiliki argumen tersendiri. Bahwa penyusunan RKUHP sekarang ini mengadopsi berbagai hukum, tak hanya hukum Islam sebagai hukum agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia, tapi juga hukum adat, hukum Belanda, dan konvensi Internasional. Contohnya, ndees, dalam Islam itu tak ada mengenal yang namanya hukuman penjara, maka di dalam KUHP itu hukumannya adalah penjara yang diambil dari hukum Belanda. Perlu diketahui, ndees, bahwa penyusunan draf RKUHP ini sudah dimulai sejak tahun 1992 lalu, dan sejak itu pula polemik mengenai kesusilaan dalam RKUHP timbul, jadi bukanlah agenda dari MenKeh pada 2003, itu alasan beliau. Beberapa dari kamu mesti belum lahir kan di tahun itu? Heuheu.
Perzinaan dan Kumpul Kebo
“Dalam RUU KUHP ancaman hukuman maksimal untuk perbuatan zina adalah lima tahun (Pasal 484). Sementara, kumpul kebo hanya diancam pidana maksimal dua tahun (Pasal 486).”
Hal tersebut diungkapkan oleh Dosen Fakultas Hukum UI, Prof Nasrullah. Gimana menurut kalian, ndees?
Menurutku pun, hal tersebut rancu dan terkesan tak adil jika kita melihat dari kacamata hukum pidana Indonesia, hukum negara. Kumpul kebo itu apa to? Itu merupakan istilah untuk menyebut sepasang pria dan wanita yang memutuskan untuk hidup bersama tanpa melalui ikatan pernikahan yang sah (tak ada di catatan sipil). Omah-omah ning ra nikah. Membina rumah tangga tapi tak menikah.
Sekarang gini, jika ada laki-laki dan perempuan yang menikah secara agama, misalnya secara Islam dengan nikah siri (diam-diam), tidak dicatatkan dalam catatan sipil, apakah mereka Kumpul Kebo? Jawabanya: tergantung. Jika dilihat dari kacamata hukum Islam, tidak. Namun jika dilihat dari hukum negara, Iya. Mengapa? Karena hukum negara itu butuh bukti, bukti tertulis yang sah dan nyata. Sedangkan secara Islam, menikah itu syaratnya kan ada kedua calon mempelai, laki-laki dan perempuan yang hendak menikah, wali dari pihak perempuan, dan dua orang saksi. Cukup 5 orang saja yang hadir, sah lah pernikahan itu.
Aku setuju dengan pandangan Prof Tengku Nasrullah ini, bahwa, ada ketidakseimbangan dalam penerapkan pemidanaan antara perzinaan dengan perbuatan tinggal serumah tanpa ada ikatan perkawinan alias kumpul kebo. Padahal, apabila berbicara tentang kesusilaan, maka dengan adanya perbuatan tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan, perbuatan zina termasuk didalamnya. Seharusnya, kumpul kebo ancaman hukumannya paling tidak sama dengan perbuatan zina. Kan iya? Mudeng gak, ndees? Kalau gak mudeng mending ngaso dulu sana. Ndhodhok.
Pelapor dan Pihak yang Dirugikan
Selain soal pemidanaan, hal menggelitik lain dan masih mengganjal di dalam dada (halah) dalam bab kesusilaan ini adalah, keterkaitan atau keterlibatan pihak ketiga sebagai pelapor. Tindak pidana yang berhubungan dengan perzinaan dan kumpul kebo baru bisa dipidana setelah ada pengaduan dari pihak ketiga.
Masalahnya, apakah pihak ketiga yang melapor itu bisa siapa saja yang melihat atau merasa dirugikan, dan bukan hanya suami, istri ataupun keluarga semata? Apa kerugian dari pelapor jika si pelapor tersebut bukan orang yang dikenal. Bagaimana pembuktiannya?
Jika perzinaan (dalam artian baru di RKUHP) dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang salah satu atau keduanya sedang dalam ikatan pernikahan dengan orang lain, sudah jelas bahwa si pelapor itu bisa istri atau suami sah dari pelaku. Dialah yang dirugikan.
Jika perzinaan dilakukan oleh sepasang muda-mudi yang kedua-duanya tak dalam ikatan perkawinan, masih lajang, pihak keluarga yang merasa dirugikan bisa melaporkan tindakan perzinaan tersebut.
Nah, apakah jika terjadi hubungan badan antara seseorang yang belum menikah dengan pekerja seks, bisa dilaporkan sebagai tindakan pidana perzinaan dalam RKUHP yang baru? Siapa yang merasa dirugikan?
Ingat Perbuatan Melanggar Hukum/PMH? Salah satu unsurnya kalau tak salah itu: ada pihak yang dirugikan. Tidak jelas pula apakah pihak ketiga terbatas pada tempat kejadian dilakukan suatu perzinaan atau diluar tempat kejadian bisa juga menjadi pelapor. Kan iya? Inilah yang kemudian membuat kerancuan dengan tidak ditetapkan siapa yang bisa disebut sebagai pihak ketiga. Padahal, di tempat umum semisal hotel, perbuatan seperti ini mungkin dilakukan.
Ndees, dalam penyusunan RKUHP ini yang diperlukan adalah mufakat, kesepakatan, kebersetujuan, atas apa materi dan isi aturan dalam RKUHP ini. Pihak-pihak atau golongan tertentu boleh memberikan masukan mengenai hukum yang akan diatur di dalamnya, tapi perlu digarisbawahi bahwa, tidaklah boleh memaksakan kehendak golongan untuk diterapkan dalam KUHP. Adapun pasti pada akhirnya, ada pihak yang tidak puas dengan keputusan yang diambil, dan dalam setiap kebijakan, pastilah tidak bisa memuaskan seluruh pihak. Oleh karena itu, musyawarah untuk mufakat adalah keharusan yang pasti. Pengertian yang jelas, tidak multi tafsir, well-defined, adalah syarat mutlak dalam pembuatan peraturan. Bukan pekerjaan yang mudah, mengingat sudah lebih dari 20 tahun penggodokan RKUHP dilakukan, dan sekarang pun masih saja belum rampung.
Dalam kekecuan dan ke-ambyaar-an yang nyata
Setyoko Andra Veda