The Subejo

Mlaku Bareng-bareng

Tag: Pewayangan

Filsafat: Dewa Ruci (2) Durma

Kali ini, men-Durma dulu, ndees…biar syahdu.. ngomong-ngomong kalian tau artinya gak? heuheu

Durma

Aywa lunga yen durung wruh kang pinaran
Lan mangan ugi
Lamun durung wruha
Rasaning kang pinangan
Aja anganggo ta ugi
Yen durung wruha
Arane busaneki

Weruhira tetaken bisane iya
Lawan tetiron ugi
Dadi lan tumandang
Mangkono ing ngagesang
Ana jugul saking wukir
Arsa tuku mas
Mring kemasan den wehi

Lancang kuning den anggem kencana mulya
Angkono wong ngabekti
Yen durung waskitha
Prenahi kang sinembah
Wrekudara duk miyarsi
Ndheku nor raga
Dene Sang Wiku sidik

anggitanipun R. Ng. Yasadipura I

Negeri Tanpa Kritik

Alkisah, Alengka Diraja adalah sebuah negeri yang dikuasai oleh Prabu Rahwana, Putra Rsi Wisrawa dan Dewi Kaikesi. Prabu Rahwana itu orangnya arogan, walaupun begitu negeri Alengka Diraja lumayan anteng dan ayem, damai dan hampir tiada keributan di daerah-daerah. Mungkin karena kearoganannya itu, Prabu Rahwana tiada pernah mendapat kritik, lagi pula apa yang hendak dikritik jika rakyatnya kenyang dan tiada mengeluh. Hidup damai tanpa maling, tanpa rampok, tanpa preman, dan sebagainya yang membelenggu kehidupan harmonis rakyat. Tapi ya itu, satu masalahnya yaitu rakyat Alengka tiada berani mengungkapkan apa yang seharusnya diungkapkan yang menjadi haknya.

Togog dan Bilung, jika di pihak Ksatrya adalah punakawan, tapi di pihak para Raksasa ada Togog dan Bilung. Konon Togog yang mulutnya sobek itu adalah bersaudara dengan Pak Semar di Ayodya sana dan Btara Guru di Kahyangan sana.

“Gog, negara ini hampir ndak ada dinamikanya, hampir tidak ada gregetnya sama sekali.” celetuk Bilung.

“Lha kenapa to?”

“Kenyang si kenyang, Gog, tapi aku gak bisa mengungkapkan uneg-unegku ke pemerintah, apalagi kamu tahu to Prabu Rahwana itu seperti apa?”

“Lung, di sini semuanya berparadigma bahwa mengkritik itu harus punya kemampuan yang lebih dari yang dikritik. Misal, kalau kamu mengkritik Presiden kita itu, emangnya kamu bisa apa ngerjain tugas sebagai presiden? susah lhoh..” Togog menggaruk-nggaruk tangannya, agaknya belum mandi sejak kemarin sore.

“Tapi, Gog, seorang pengkritik itu juga diperlukan buat menyeimbangkan dan mengkoreksi perbuatan yang dikritiknya, terlepas dari apa dia bisa berbuat demikian atau tidak. Contohnya, komentator sepak bola itu kan ndak harus pemain bola, ndak harus pintar main bola. Komentator MotoGP itu ya belum tentu bisa membalap seperti Jorge Lorenzo, Valentino Rossi, Pedrosa, dan sebagainya itu. Kalau ndak ada komentator bersuara, ndak ada kritikan, ndak ada media kaya sekarang ini, sepi, Gog. Kalau ndak ada kritik, gimana mau maju? Gimana mau bergerak negara ini? Lama-lama rakyat juga bakal bosan.”

“Bener juga ya.”

“Ya iya to ya, Contoh lagi, kritikus film itu belum tentu bisa membuat film sebaik film yang dimilikinya, tapi para sutradara menghormati para kritikus itu tuh, sebagai koreksi atas hasil karyanya. Terlepas jika kritikus itu terkesan omong thok, tapi apa yang dilihatnya itu kan pandangan dia, jika ada yang kurang pas dimata sang perngkritik itu, mengkritiklah dia.”

“Tapi, Lung, kita itu buat apa mau mengkritik Prabu Rahwana? Lah wong sekarang hidup kita sudah lumayan kok, ndak ada maling, ndak ada perampok, apalagi preman. Semua tunduk pada kekuasaan Prabu Rahwana. Semua takut berbuat jahat. Kurang apa lagi? Hendaknya kita itu menjadi orang yang bersyukur to ya.”

“iya juga si, Gog.”

dari kejauhan, Surpanaka, adik Prabu Rahwana terlihat sedang jalan-jalan menikmati pagi yang cerah. Tapi, tiada burung yang berkicau karena takut padanya. Takut dikira mengkritik suara Surpanaka yang serak-serak basah itu.

“Eh, ada Mbak Surpanaka. Gimana kabarnya, mbak?” sapa Togog dengan ramahnya. Surpanaka hanya diam dan melihati keduanya, Togog dan Bilung.

“Apa lihat-lihat??!” katanya ketus.

“Heem, ndak apa-apa kok, Gusti.” kata Bilung. Lalu Surpanaka melanjutkan jalan-jalan paginya itu.

Setelah agak jauh, dan kira-kira Surpanaka tidak bisa mendengar percakapan Togog dan Bilung, mereka mulai pembucaraannya lagi.

“Nah, sekarang lihat itu, Gog. Surpanaka itu siapa sih yang berani mengkritik dia di negeri ini? Paling ya kakaknya sendiri. Sampai burung-burung kuning itu, yang kaya Angry Bird itu, takut berkicau.”

“Biarkan aja to, Lung.”

“Sekarang ya, Gog, apa sih yang salah dari sebuah kritikan jika yang dikritik itu legowo dan nerima, Andai saja pikiran semua orang di sini tidak sama, yaitu bahwa mengkritik itu harus ahli dalam bidang yang dikritiknya, kita pasti bisa lebih maju.”

“Jaminannya? Lihat itu Indonesia di timur sana.”

“Bukan begitu, Gog. Aku cuma mau meluruskan aja, bahwa jika kita mengkritik itu, tidak harus ahli dalam bidang yang kita kritik. Kalau paradigmanya begitu, orang yang tidak bisa apa-apa hanya akan terima melihat dari kejauhan, ‘oh, begitu ya, aku ndak bisa kaya gitu, baiknya aku diem aja’, beeuh! macam mana pula itu.”

Togog dan Bilung melanjutkan pembicaraan mereka pagi itu, tentang kritikus-kritikus yang suka mengkritik, entah itu kritik pedas, kritik manis, kritik udang, kritik tempe, dan sebagainya.

Sementara itu di Indonesia sana, banyak orang yang mengkritik asal njeplak, banyak juga yang mengkritik demi perbaikan, ada juga yang mengkritik biar masuk TV, dan sebagainya.

“Sekarang ya, setiap orang itu punya perannya masing-masing, Gog. Tempatnya para pengkritik itu sebagai oposisi yang mengkoreksi pemerintah contohnya, seorang Koki kalau di restoran pun bakal dikritik pengunjung restoran kalau ada yang tidak pas dengan masakannya, walaupun si pengunjung itu belum tentu bisa masak sehebat koki. Dan kalau di rumah, si koki juga belum tentu akan menggantikan si istri untuk memasak.”

“iya, iya.. aku mudeng, Lung. Tapi, contoh itu di Indonesia di timur sana. Banyak pengkritik, komentator, yang ngomong cuma biar masuk TV, biar dapet duit, kurang bertanggung jawab. Hal yang tidak perlu dikomentari pun dikomentari.”

“Itu demokrasi, Gog. Tapi kebablasan. Hahahaha”

“ya itu, intinya kita itu kalau komentar harus yang bertanggungjawab dan punya alasan,walaupun tidak ahli dalam bidang yang dikritik, to?”

“iya, Negera kita sayangnya tidak bisa seperti itu. Aku jadi pengen ke Indonesia saja. Yang bebas ngomong, bebas buang sampah sembarangan juga.”

Dan keduanya terus melanjutkan perbincangan sampai lemas.

Gareng Misuh, Semar Mesem (Gareng Mengumpat, Semar Tersenyum)

Gareng menjadi panitia di acara pemilu Astina, ada dua kandidat katanya, si Duryudana sama si Yudistira. Calon nomor 1 itu si Duryudana, calon nomor 2 itu si Yudistira. Sebelum ada pemilu itu, menjelangnya, terjadi persaingan sengit di ajang kampanye antara dua calon itu. Contohnya, ada itu di twitter yang buat akun ‘kritik’, tapi cuma kritik, jadi kerjaannya cuma kritiikk thok, dikit-dikit dikritik, tapi pernah juga muji. yang di kritik itu apa? ya perpolitikan di Astina sini, yang kotor katanya, yang didominasi oleh para Kurawa itu. Dikit-dikit kalau ada acara, mesti ada bala Kurawanya, mesti ada orang yang itu-itu aja. Wah, bisa jadi ini Astina bakal stagnan, bakal gak maju-maju. Nama akunnya kalau tidak salah itu @astinaleaks, mengungkapkan segala kebobrokan astina, gak ada yang tahu siapa itu adminnya, yang jelas katanya, orang dalam kerajaan aja.

Gareng bingung dengan persiapan pemilu ini, di sisi lain dia harus sekolah sama Petruk, di sisi lain dia harus mempersiapkan segalanya buat pemilu ini. ”

“Wah, publikasinya ini belum selesai. Njlimet! Sementara itu si @astinaleaks terus ngritik kinerja. Apa-apaan coba dia ngritik terus gak ada habisnya, emangnya dia itu kerja, apa? Boro-boro kerja, nunjukin identitas aja enggak. Gila!” celetuk ketusnya si Gareng, ceritanya ini lagi curhat sama si Petruk.

“Sudahlah, Reng. Lagian siapa suruh kamu itu ikut-ikutan jadi panitia pemilu segala, kamu kan jadi ikutan kena masalah to”

“Ya maksudku bukan itu, Truk. Aku itu ikut buat menyemarakkan acara pemilu ini, paling tidak itu aku peduli lah sama negara kita ini, nggak kaya kamu!”

“Lho? kok aku disangkutpautin? salahku apa?”

“Kamu itu apatis, kerjaannya belajar melulu! Aku pulang maghrib terus ke kamar, eh ada kamu lagi bukak buku, lha aku?”

“yo itu kan sudah tugas kita buat belajar, Reng. Amanat orang tua je.”

“Paling tidak kan kamu juga peduli sama negara Astina ini.” Gareng mengucapkan itu sambil berlalu ke dapur, mau buat kopi.

“Lho? aku itu peduli kok. Aku juga ikut jadi peserta acara-acara yang ada di negara ini. Aku ikut upacara bendera tiap senin, aku ikut kemarin itu nonton konser Mocca lho. Kalau nggak ada aku, nggak ada kami para penonton, acara selevel itu bakal gimana coba? Aku buatin kopi sekalian, ya!”

“Ah, kamu itu gak ngerti si, paling tidak kan harusnya kalian itu mengapresiasi kami.”

“Yo bentuk apresiasinya itu kami jadi peserta, Reng.”

Sampai saat pelaksanaan pemilu tiba, si Gareng jaga di TPS. Banyak juga yang menggunakan hak pilihnya, eh tapi tunggu dulu, kayaknya lebih banyak yang lewat TPS tanpa mampir atau menoleh sedikitpun. Gareng pun emosi, tapi dia pendam itu dalam-dalam di dalam hati.

Saat para punakawan kumpul jejagongan di emperan gedung pusat Astina, si Gareng pun mengeluarkan uneg-unegnya. Uneg-uneg tentang keapatisan para warga di Astina ini. Petruk yang sudah tahu masalahnya cuma manggut-manggut, si Bagong malah sibuk mainan hape, entah itu twitteran apa fesbukan. Pak Semar dengan sabar mendengarkan.

“Gong! mbok ya kalau lagi dicurhatin itu memperhatikan to ya, aku tersinggung ini bicara nggak didengerin sama kamu” celetuk Gareng.

“Aku itu sambil gini sambil dengerin kamu to ya.”

“Sudah-sudah, lanjut lagi ceritanya, Reng” kata Pak Semar.

“Ya itu, pak.. ditambah lagi itu ada yang ngritik pelaksanaan pemilu kemarin itu gak megah, gak menarik blas. Publikasinya ngapusi (membohongi)” kata Gareng

Ngapusi gimana?” sahut Bagong, tapi dia masih tertuju pada hapenya, jempolnya yang gedhe-gedhe itu menekan-nekan keypad yang kecil.

“Yo ndak tahu aku. Mereka itu bisanya cuma ngritik aja, ndak tahu apa kita para panitia dah kerja mati-matian buat terselenggaranya pemilu ini.”

“Njuk ini siapa yang menang to?” tanya Pak Semar

“Kayaknya calon nomor 2, Pak Yudhistira alias Puntadewa” sahut Gareng.

“Nah itu, kemarin itu akun @astinaleaks itu juga mendukung si nomor 2 itu buat jadi presiden di Astina ini.” kata Bagong, sekarang pandangannya sudah tertuju ke Gareng.

“oh, jadi dia lagi to? provokator! sok benar!” si Gareng misuh(mengumpat), “itu black campaign“.

Di saat suasana memanas seperti itu, Pak Semar seperti biasa tetap berpikiran dingin, berusaha bersikap bijak dan menengahi para punakawan itu.

“Sudah-sudah. Sebenarnya ini masalah simpel.” kata pak Semar.

“simpel? simpel gimana?” celetuk Gareng.

“Reng, mbok ya kamu santai saja to ya.. Gini, masyarakat to punya hak antara memilih si Duryudana atau si Yudhistira, itu to? Lalu mengenai masalah hak itu, orang yang punya hak kan bebas hendak menggunakan haknya atau tidak menggunakannya sama sekali. Lain halnya dengan kewajiban, kalau kewajiban itu harus dilaksanakan. Kalau kamu diwajibkan buat menghormati presiden, ya itu artinya kamu harus. Tapi jika menghormati presiden itu adalah sebuah hak, maka terserah kamu mau hormat atau tidak. Begitu juga dengan pemilu ini kan. Itu sudah diatur dalam Undang-undang Dasar Astina lho. Jadi sekarang ndak usah mempermasalahkan mengenai orang yang tidak mau menggunakan haknya.”

“Itu juga aku tahu, pak. Tapi, masa ya terus-terusan seperti ini? Masa terus-terusan pada tidak mau menggunakan haknya? Atau haknya baiknya dicabut saja?”

“Ndak gitu juga, nak. Hak itu timbul setelah adanya sebuah kewajiban yang terpenuhi, ndak bisa dihapus begitu saja. Kalau terus-terusan seperti ini, mungkin itu ada faktor-faktor X yang membuat mereka apatis. Contohnya, mereka itu sibuk dengan kerjaannya sendiri, atau mereka males buat memilih karena pilihan itu kan dipertanggungjawabkan lho ke Tuhan, kalau kamu pilih calon presiden, terus calonmu itu jadi, kamu berarti ikut berkontribusi jika dia melakukan kesalahan suatu saat ketika dia menjabat. Kalau masalah itu sudah pikiran sufi itu.. haha”

“lantas?”

“Lantas mereka tak mau memilih. Sekarang coba kita memandang masalah itu dari berbagai sisi, Reng. Jangan memandang masalah itu cuma dari segi pandanganmu saja, jangan dari point of view yang sama. Ibaratnya kalau kita lagi jalan-jalan ke Merapi, kita bisa memandang gunung Merapi itu dari berbagai sisi to, kalau orang Jogja pasti menganggap merapi itu ada di sebelah utara, di Jogja kalau bingung arah ya tinggal lihat di mana Merapi itu, itu pasti utara. Lain halnya kalau orang Magelang bicara, pasti menganggap Merapi ada di sebelah timur, apa lagi orang boyolali menganggap Merapi di barat. Jadi pandanglah sesuatu itu dari berbagai segi, biar kamu paham pandangan orang lain terhadap sesuatu itu, tinggal kita menyinkronkan pandangan kita terhadap sesuatu itu. Orang jogja dan orang magelang menyinkronkan bahwa kesimpulannya merapi itu tinggi, soalnya bisa dilihat dari wilayah mereka masing-masing. haha. Dengan cara seperti itu, kamu itu jadi tidak sewenang-wenang dalam menilai suatu itu.”

“Lha kaitannya sama pemilu ini apa, Pak e?” celetuk Bagong, dia masih pegang hape dan twitteran.

“Apa ya hubungannya? bingung aku. hahaha” Pak Semar ketawa, susunya tersental-sental keatas kebawah karena saking gemuknya beliau itu. Lucu kalau dilihat. “Gini, Reng. dah kamu itu ndak usah misuh-misuh tentang orang-orang yang suka mengkritik, entah itu disertai solusi atau sama sekali gak ada solusi. Mereka itu berhak bicara. Tugasmu itu mendengarkan kritikan itu dan mengkoreksi kinerjamu itu. Kalau sudah sesuai aturan, ya biasa saja, ndak usah kebawa emosi. Jelaskan yang baik-baik kepada mereka tentang sistem internal, orang mengkritik itu kan karena mereka itu memandang ada cela di dalam suatu pelaksanaan. Mungkin yang menurut kamu sudah benar, belum tentu sudah benar di mata dia, kan iya to? Jelaskan secara baik-baik, pahami ketidaktahuan mereka. Kalau ada statement yang agak menyakitkan, anggap saja itu pelajaran dari Universitas Kehidupan ini, nak. Di Universitas Kehidupan itu, IP tidaklah penting, yang penting itu prosesnya, proses kamu melakukan segalanya.”

“Itu, Reng! kemarin itu aku mau bicara begitu, tapi sulit ngomongnya”, kata Petruk. Kali ini dia mencoba angkat bicara. “Kamu kan termasuk orang yang penting di Astina ini, jadi kamu itu harus lebih bisa memahami kebanyakan rakyat, jangan maunya mereka yang memahamimu thok. Intinya itu saling memahami.”

“Trus, gimana kalau kita sudah memahami mereka, eh tapi mereka tidak mau paham juga ke kita?” Gareng mencoba bersikap.

“Nah, itu masalah belakangan sebenarnya, tapi itu juga simpel, nak. Kita itu tidak bisa menuntut orang lain untuk memahami kita, tapi kita bisa menuntut diri sendiri untuk dapat memahami. Sekarang lebih penting mana antara kamu mau memahami orang lain atau kamu dipahami tanpa memahami orang lain?”

“Bahasanya njlimet(membingungkan)!!” Bagong menyela. Eh, ternyata dia itu sudah memperhatikan. Ki Semar cuma tersenyum melihat anaknya itu, yang lahir dari bayangannya sendiri.

“Semua itu sebenarnya adalah terserah kalian, anak-anakku. Hidup itu pilihan. Kalian itu hendak memilih jalan yang mulia, setengah mulia, biasa saja, jelek, super jelek, itu terserah kalian. Kembali ke masalah hak. Tapi tetep harus ingat, GustiAlloh mboten sare (Tuhan itu tidak tidur), Dia itu selalu mengawasi kita, mengawasi pikiran kita yang belum kita ungkapkan, bahkan.” Pak Semar tersenyum, dia sudah tahu bahwa anak-anaknya pasti memahami perkataannya ini.

Tak terasa hari sudah sore, Resi Dorna lewat depan gedung pusat Astina sambil ngasah keris. Sengkuni lagi makan di warung pecel dekat gedung pusat bersama Dursasana, adiknya Duryudana. Sementara itu di dalam gedung pusat, Pandawa lagi merayakan kemenangannya, Ternyata ada Duryudana juga di sana yang juga ikut merayakan dan ikut menyelamati Yudhistira karena terpilih menjadi Presiden Astina.

 

 

Terinspirasi Mbah Sudjiwotedjo, maturnuwun sanget.

Banten, 25 Mei 2011. Setyoko Andra Veda.

Bahasa Jawa (2)

Beberapa waktu lalu pernah saya ungkapkan bahwa Bahasa Jawa adalah sebuah “pengengkangan”, bukan berarti apa-apa, maksud saya adalah bahasa yang memisahkan dan bertingkat-tingkat untuk saling menghormati dan menghargai antar sesama orang Jawa. Baik, itu semua sudah di setujui dan dimaklumi bahkan sudah dilestarikan sampai sekarang tentang bahasa itu. Mungkin itu juga yang membuat banyak sastrawan asal Jawa yang menulis dalam bahasa Indonesia, bukan dalam Bahasa Jawa, atau mungkin mereka sudah terbiasa dengan Bahasa Indonesia, bahkan bahasa inggris. Jika anda membaca cerita tentnag Jawa, anda akan membacanya dalam bahasa Indonesia, bukan? Itulah satu kelemahan kita dalam melestarikan budaya. Kita sudah seharusnya memperlakukan budaya kita sendiri, baik jawa maupun yang lainnya, selayaknya kita memperlakukan bahasa Indonesia. Bukan berarti ini menjunjung tinggi suku tertentu, tapi alangkah baiknya jika yang berasal dari suku itu melestarikan budaya suku itu sendiri. Yang dari Jawa, lestarikan budaya Jawa, paling tidak bicaralah jawa dalam konteksnya, mengerti unggah-ungguh, begitu pula Sunda, Betawi, Madura, Bali, Batak, Melayu, Bugis, dan sebagainya.

Manusia Indonesia itu gila pada tren, tren sekarang adalah bahasa asing. Iya, itu memang benar, bahasa asing itu penting untuk masa sekarang, bahasa Inggris, Jepang, Cina, Arab, itu adalah bahasa-bahasa mendunia. Tapi kapan kita berpikir bahwa bahasa kita, baik itu Indoensia maupun daerah akan menjadi bahasa mendunia? Nenek moyang telah mewariskan budaya yang begitu agung, begitu besar, begitu luhur, mereka menemukan bahasa jawa dari sanskerta, huruf-hurufnya pun begitu.

Pernahkah melihat Opera Jawa? Film yang tak diedarkan di Indonesia, tapi ada di youtube.com sekarang. Anda akan melihat suatu kerangka cerita Ramayana dalam sebuah Opera Jawa yang difilmkan, sampai dialog-dialognya pun menggunakan dialog nyanyian jawa. Gerakan-gerakan diiringi tarian, namanya juga opera. Itu adalah suatu bentuk kebanggaan pada budaya daerah, budaya kita sendiri, bagaimana kita melestarikan suatu bahasa yang tertuang dalam sebuah film, menggunakannya dalam sebuah film besar.

Beberapa kata dalam bahasa Jawa Tengahan (solo-jogja) yang sekarang jarang digunakan oleh kebanyakan orang dalam percakapan sehari-hari antaranya adalah ‘yen’ (kalau), ‘nalika’ (ketika), ‘sira/sliramu,slirane’ (kamu), ‘tuladha’ (contoh), ‘dene’ (sedangkan), ‘kanthi’ (dengan) dan sebagainya, kata-kata itu lama kelamaan akan hilang, diganti dengan kata-kata serapan dari bahasa Indonesia. Adapun beberapa kata dari bahasa Jawa Banyumasan adalah suatu keniscayaan tersendiri dari sebuah bahasa yang besar seperti bahasa Jawa ini, kosakata ‘teyeng’ (bisa), ‘kencot’ (lapar), ‘dhisit’ (dulu), ‘rika’ (kamu), ‘kuwe’ (begitu), ‘kiye’ (begini) dan sebagainya. Jika digali, maka bahasa Jawa mempunyai penjelasan yang panjang lebar karena memiliki banyak budaya yang antar wilayah berbeda tapi masih dalam konteks ‘jawa’. Pun bahasa Bali yang mempunyai akar budaya yang sama yaitu kala Majapahit, sehingga beberapa kosakata sama, juga Sunda.

Mempelajari budaya sendiri adalah sebuah pilihan, jika budaya itu hilang tergerus waktu adalah suatu keniscayaan akibat pengguna budaya itu yang tak bangga atau kurang berkenan pada budayanya sendiri atau karena ketidaktahuan, keterbatasan sumber, dan sebagainya.

Ramayana 4

Kumbakarna dan Gunawan Wibisana, adalah dua tokoh Ramayana yang merupakan adik dari Rahwana. Mereka itu saudara kandung, walaupun begitu tapi memiliki sifat yang berbeda-beda. Ketiganya berwujud Raksasa, jelek, buruk rupa. Tapi jangan salah, Kumbakarna jelek-jelek begitu itu kuat dan sebenarnya baik hati, apalagi Wibisana, dia malah lebih mirip manusia daripada Raksasa.

Ketiganya lahir dari rahim seorang Dewi Kaikesi, istri dari Bgawan Wisrawa. Konon Wisrawa ini adalah Resi paling sakti pada jamannya dulu, dan Kaikesi adalah putri dari Prabu Sumali, maharaja raksasa jaman dulu. Sumali ingin kaikesi henya menikahi Resi terpilih di dunia, yaitu Wisrawa.

“kes, papa pengen kamu itu punya masa depan yang cerah”

“iya pa, Kesi juga pengen.”

“maka dari itu, papa pengen kamu itu menikahi seorang cowok yang baik dan bener, yang budiman, yang unggul, alim pula.”

“terserah papa deh.”

“nikahi tuh Resi Wisrawa, dia sakti mandraguna”

Akhirnya menikahlah mereka. Pada awalnya, saya sendiri juga bingung, Bapaknya seorang Resi, tapi kok anaknya Rahwana? jahat pula. Nah itu ada kisahnya. Konon Resi Wisrawa itu waktu pengantin baru sama Dewi Kaikesi masih ‘semangat-semangatnya’. Tapi Resi Wisrawa sadar bahwa dia itu tak mau bercinta pada waktu-waktu tertentu karena waktu-waktu itu pamali buat melakukan hubungan suami istri. Pamali karena kalau ‘jadi’, anaknya bakal punya sifat buruk dan jahat. Eh, tapi, Dewi Kaikesi maksa.

“mas,” kata dewi Kaikesi perlahan dan lembut.

“apa?”

“udah malem ni mas”

“iya, aku juga udah tahu kok, dik”

“terus?”

“terus ngapain, gitu?”

“hehe, iya.. :3 ngapain ya enaknya mas. Belum ada tivi nih, radio juga belum ada, terus gelap lagi”

“cape deh -,- kamu mau? tapi resikonya itu lho, dik..”

“tapi pengeen.. :3”

“baiklah kalau kamu memaksa.. halah” dan Lheezz!

Akhirnya tak terhindarkan lagi peristiwa ‘mencekam’ itu. Lahirlah Rahwana.

Beda kisahnya dengan Kumbakarna dan Wibisana, mereka mungkin tidak ‘dibuat’ pada waktu terlarang. Tapi rupanya tetep aja jelek. -,-

Kok malah jadi nglentur ke Rahwana. -,-

Kumbakarna punya sifat Ksatriya, dan Wibisana bersifat belas kasih. Kala muda, Rahwana, Kumbakarna dan Wibisana pernah bertapa memuja Dewa Brahma, tapa tuh mereka sampai lumutan, dan akhirnya Brahma tersentuh juga lalu turun ke dunia untuk menemui mereka. Brahma memberi permohonan pada Rahwana dan Kumbakarna. Rahwana meminta kedigjayaan, tak bisa terkalahkan oleh segala makhluk kahyangan, asura, dan sebagainya, tapi dia tak menyebutkan manusia karena menganggap remeh. Brahma mengabulkan. Kumbakarna meminta Singgasana Btara Indra, tapi konon lidahnya keliru mengucap menjadi ingin Tidur Abadi. Gak tahu apa kosakata Tidur Abadi dengan Singgasana Indra itu dekat pengucapannya atau bagaimana. Brahma mengabulkan, seketika tidurlah si Kumbakarna.

“oke, aku kabulkan permintaanmu, Kumbakarna, kalau melihat api kamu akan tidur. Kalau melihat api kamu akan?”

“tidur” jawab Kumbakarna.

“tarik napas, hembuskan” dan Whuzz! Bleg!

rahwana kasihan pada adiknya itu dan minta agar Kumbakarna dibangunkan lagi, Brahma tak menyanggupi, tapi dia meringankan tidur Kumbakarna untuk tak selamanya. Kelak Kumbakarna bangun saat perang Ramayana dimulai.

Wibisana beda lagi. Dia itu raksasa berhati manusia. Waktu ditanyai apa kemauannya oleh Brahma, apa dia mau kekuatan besar? ooh tidak bisa…!

“Sekarang kamu, Wibisana” kata Brahma

“iya dewa”

“apa yang kamu inginkan,”

“saya tak ingin apa-apa, dewa.”

“ayo dong, kamu udah bertapa, masa tak ingin apa-apa? Saya beri kekuatan saja, ya?”

“oh, t