The Subejo

Mlaku Bareng-bareng

Presumption of Innocence

Tulisan ini murni opini pribadi, bukan bermaksud menjelek-jelekkan pihak tertentu atau bahkan menghakiminya. Tulisan ini murni ingin mengajak kita berfikir bersama menuju well-educated people.

Presumption of Innocence.

Baru saja kemarin ketika malam pergantian tahun, ada satu kasus yaitu penggerebegan terduga teroris di kawasan Ciputat, Jakarta Selatan, yang menelan korban jiwa dari pihak TERDUGA teroris. Beberapa kalangan menyesalkan penggerebegan tersebut yang sampai mengakibatkan tewasnya si terduga teroris. Bukan karena apa-apa, hanya saja statusnya masih ‘terduga’ yang mana itu sama sekali bukan termasuk terminologi hukum.

Dalam KUHAP memang tidak ada pengertian dari Terduga, juga dalam Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah dikukuhkan menjadi undang-undang dengan UU No 15 Tahun 2003. Di KUHAP hanya dikenal istilah Tersangka dan Terdakwa. Ditetapkannya seseorang menjadi Tersangka adalah karena tahap penyelidikan yang dilakukan oleh penyellidik, sedangkan Tersangka itu akan disidik oleh penyidik untuk kemudian ditetapkan sebagai Terdakwa tatkala dituntut dan masuk di ranah pengadilan.

“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.”

Sedangkan istilah Terduga? Belum ada pengertiannya.

Mengapa hal seperti ini banyak orang yang ‘ribut’ menyesalkan atau menyayangkan? Dengan tewasnya terduga teroris kan malah meningkatkan keamanan? Mengapa ‘ribut’nya melebihi ketika ada polisi yang tewas tertembak beberapa bulan lalu? Bukankah kali ini yang tewas tertembak adalah orang jahat?

Siapa bilang orang jahat? Sudah dibuktikan di pengadilan?

Dan banyak lagi pertanyaan akan muncul dalam benak.

Memang betul bukan kita underestimate terhadap kinerja Densus 88 AT, pasti mereka telah menghimpun berbagai informasi sejak jauh-jauh hari, bekerja sama dengan intel untuk mengintai, dan setelah menemukan cukup informasi, dilakukanlah penggerebegan. Keputusan itu pasti dilakukan secara rahasia dan hati-hati dengan tingkat yang tinggi. Pun tidak sesederhana itu semua sebenarnya.

Hanya saja di lain pihak, pelumpuhan terduga teroris tersebut tidak perlu sampai mengakibatkan tewasnya mereka. Mengapa? Karena mereka berstatus Terduga yang mana masih sangat-sangat dini dalam proses hukum. Seorang yang menjadi terduga bukannya harus ditembak mati, justru ia harus dibuktikan keterdugaannya itu. Kan jika mereka tewas, maka pembuktian keterdugaan mereka menjadi terkendala.

Bukti hanya bisa ‘bicara’ di pengadilan, dengan bukti-bukti itu akan dibuktikan secara benar bahwa si orang tersebut memang terlibat dalam perkara hukum yang dituduhkan. Sedangkan para terduga itu belum menginjak di pengadilan sama sekali, jadi tersangka saja belum, malah sudah tewas.

Mengapa semua ini dikoar-koarkan? Semata-mata karena kita semua tidak mau di-terduga-kan dan digerebeg lalu di-dor sampai tewas, kan iya? Hanya karena kepemilikan senjata api, atau bahan peledak, atau latihan fisik bersama, bukanlah alasan untuk digerebeg lalu di-dor sampai tewas. Justru itu semua harus dibuktikan. Ini bukan pula jaman Petrus yang menembak tewas siapa saja orang bertato yang ‘diduga’ preman. Ini adalah zaman penegakan keadilan dengan hukum sebagai instrumennya, bukan penegakan hukum dengan mengabaikan keadilan, juga bukan penegakan senjata dengan mengabaikan perikemanusiaan. Tindakan pembunuhan semacam itu hampir tak ada bedanya dengan tindakan teroris, justru karena kita adalah bukan teroris maka kita harus bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, di dalam koridor. Sebuah koreksi bersama di dunia hukum kita.

Berikut kutipan dari pasal 6 dan 7 Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Si terduga itu kira-kira akan dikenakan pasal yang mana jika ia tertangkap hidup?

Untuk lebih jelas perbedaannya, maka lihat tabel berikut:

Pasal 6

Pasal 7

Setiap orang

Setiap orang

yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan

yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan

menimbulkan

bermaksud untuk
menimbulkan

suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,

suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain,

atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional

atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional

dipidana dengan pidana mati
atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup

Penegak Keadilan

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.

(Q.S. An-Nisa’: 135)

Sebuah Kekhawatiran akan Legalitas Perampokan Uang Negara

Sebagai seorang mahasiswa yang pernah mempelajari peraturan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah, yaitu Perpres No 54 Tahun 2010 yang telah diubah terakhir dengan Perpres No 70 Tahun 2012, saya baru tersadar dan tergelitik ketika mengobrol dengan salah satu PNS di lingkungan Pemda DKI Jakarta, salah satu Suku Dinas di bawah Dinas PU tentang jabatan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM).

Kebetulan di masa-masa akhir tahun seperti ini tagihan-tagihan atas kontrak sedang banyak-banyaknya. Iseng-iseng saya bertanya pada PNS tersebut yang kebetulan menjadi stakeholder saya ketika magang di lingkungan Pemda ini. Awalnya saya bertanya siapa PPK di sini? Dijawabnya PPKnya adalah Bapak Kasudin. Pikir saya, itu hal yang lumrah. Lantas, siapa PPSPM-nya di sini? Beliau menjawab pula bahwa Bapak Kasudin yang menjabat sebagai PPSPM, merangkap PPK di instansi tersebut. Saya terheran-heran.

Menurut pengakuan beliau, dulu Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pernah mengadaan diklat tentang hal tersebut, bahwa PPK dan PPSPM boleh dirangkap sekaligus oleh KPA, c.q Kasudin. Hal ini yang nantinya akan saya cek lagi dalam Perpres No 54 maupun 70 tadi. Awalnya saya bersikukuh bahwa jabatan PPK dan PPSPM itu tidak boleh dirangkap sekaligus, tapi karena saya sedang tidak pegang peraturan apa pun waktu itu, maka saya menyerah.

Saya mencoba membuka lagi Perpres No 54 Tahun 2010 dan Perpres No 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah hanya untuk memastikan. Seseorang ditetapkan sebagai PPK harus memenuhi persyaratan yang tertera pada pasal 12 ayat (2) huruf f yang berbunyi: “tidak menjabat sebagai Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) atau Bendahara.” Lantas di ayat (2a) yang merupakan tambahan akibat adanya Perpres No 70 Tahun 2012 terdapat klausul yang berbunyi: “Persyaratan tidak menjabat sebagai PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, dikecualikan untuk PA/KPA yang bertindak sebagai PPK“. Saya ingin melihat penjelasan dari ayat (2a), namun ternyata tidak ada di Perpres No 70 Tahun 2012 tersebut.


Sebenarnya, apa itu PPSPM dan apa itu PPK? Mengapa perlu untuk membahas hal ini?

Saudara-saudaraku sekalian, diantara kalian yang membaca ini (kalau ada yang baca) pasti ada yang awam tentang ilmu Keuangan Negara, maka dari itu ada baiknya sedikit diterangkan mengenai PPSPM dan PPK.

Pejabat Pembuat Komitmen itu apa? Dijelaskan pula di PMK No 190/PMK.05/2012 tentang tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN pasal 13:

Dalam melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara, PPK memiliki tugas dan wewenang:

  • menyusun rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana penarikan dana berdasarkan DIPA;
  • menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
  • membuat, menandatangani dan melaksanakan perjanjian/kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
  • melaksanakan kegiatan swakelola;
  • memberitahukan kepada Kuasa BUN atas perjanjian/ kontrak yang dilakukannya;
  • mengendalikan pelaksanaan perjanjian/kontrak;
  • menguji dan menandatangani surat bukti mengenai hak tagih kepada negara;
  • membuat dan menandatangani SPP; (Surat Permintaan Pembayaran)
  • melaporkan pelaksanaan/penyelesaian kegiatan kepada KPA;
  • menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan kegiatan kepada KPA dengan Berita Acara Penyerahan;
  • menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan kegiatan; dan
  • melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sejak UU Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara dikeluarkan, istilah Pejabat Penanda tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) pertama kali muncul dalam pengetahuan saya adalah pada PMK No 134/PMK.06/2005 tentang pedoman pembayaran dalam pelaksanaan APBN. Lantas baru kemarin muncul PMK No 190/PMK.05/2012 yang menegaskan di pasal 17:

Dalam melakukan pengujian tagihan dan menerbitkan SPM, PPSPM memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:

  • menguji kebenaran SPP beserta dokumen pendukung;
  • menolak dan mengembalikan SPP, apabila SPP tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;
  • membebankan tagihan pada mata anggaran yang telah disediakan;
  • menerbitkan SPM;
  • menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen hak tagih;
  • melaporkan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran kepada KPA; dan
  • melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran.

Sudah kelihatan? Kelihatan “celah”nya? Kelihatan masalah yang saya usung? Belum? Oh sudah? Ya sudah.

Memang betul, kewenanangan PPSPM dan PPK pada mulanya adalah kewenangan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA). PA/KPA lah yang bertanggung jawab atas perbuatan PPK dan PPSPM selain diri mereka sendiri. Namun demi terciptanya check and balance, dua kewenangan tersebut dipisah, tidak boleh dijabat oleh satu orang sekaligus. PPK bertugas membuat dan menandatangani Surat Permintaan Pembayaran (SPP), sedangkan PPSPM bertugas menguji SPP tersebut untuk kemudian diterbitkan SPM.

Akan jadi aneh dan tidak wajar tatkala ada orang yang menerbitkan SPP, mengajukan SPP kepada dirinya sendiri, lalu menguji SPP beserta dokumen-dokumen pembayaran itu untuk kemudian menerbitkan dan menandatangani SPM.

Semakin tinggi kekuasaan seseorang, semakin berpotensilah ia korup. Bukan berprasangka buruk, tapi ini adalah tindakan pencegahan terhadap sebuah legalitas dalam perampokan uang negara.

Ini semua adalah ilmu dunia, ilmu yang sempit. Lantas kenapa kita berkutat dan pada hal keduniaan ini? PPSPM dan PPK? Dunia itu adalah senda gurau belaka kan? Itu karena Tuhan Maha Tahu bahwa manusia butuh hiburan, maka dibuatlah mereka hidup di dunia ini, buat hiburan manusia sendiri. Tuhan Maha Asyik.

Kembali ke Perpres No 54 Tahun 2010 dan Perpres No 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, baik Pemda maupun Pemerintah Pusat mengacu pada peraturan ini. Namun khusus untuk Pemerintah Pusat, telah mengantisipasinya pada tahun 2013 ini soal pasal 12 ayat (2a) tersebut dengan suatu peraturan baru berupa PP No 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pasal 9, 11 dan 14, yang menyebutkan bahwa

  • dalam kondisi tertentu, jabatan PPK atau PPSPM dapat dirangkap oleh KPA, à (“atau” menegaskan bahwa harus dipilih salah satu, bukan kedua-duanya. Beda dengan “dan”.)
  • jabatan PPK tidak boleh dirangkap oleh PPSPM dan bendahara,
  • jabatan PPSPM tidak boleh dirangkap oleh PPK dan bendahara

Lalu di pasal 181 PP No 45 Tahun 2013 tersebut disebutkan bahwa:

Semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuan yang berkenaan dengan pelaksanaan APBN, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini

Lantas, apa kabar Pemda? Menurut saya masih ada “celah” yaitu pasal 12 ayat (2a) di Perpres No 70 Tahun 2012 untuk Pemerintah Daerah. Sekali lagi, ini bukan prasangka buruk terhadap Pemda, hanya saja sebuah kekhawatiran atas legalitas dalam perampokan uang negara.

Yang sedang belajar dan terus belajar

Setyoko Andra Veda

Senja Hujan Di Jakarta

Niatnya pulang lebih awal setelah ashar, perkiraan sampai Bintaro jam setengah 6 dari Kantor Walikota Jakarta Utara di Tanjung Priok. Namun kenyataan memang kadang bisa lebih ngenes daripada harapan, tepatnya saya sudah terlalu berharap untuk pulang lebih awal dan menikmati jumat sore lebih dulu daripada yang lain. Ban bocor, sehingga harus di tembel. Dimana tempat nembel ban terdekat dari Kantor Walikota Jakarta Utara? Yaitu di belakang gelanggang olahraga sebelah kantor. Masih di tanjuk Priok.

Setelah ditembel selesai, hujan turun tatkala motor baru digeber sampai bawah jalan layang sebelum belok ke Jalan Pramuka, hampir sampai kantor BPKP. Tak tanggung-tanggung, hujan turun begitu hebat.

Biasanya saya suka menantang alam kota, mendung saya tembus meski akhirnya kehujanan. Tapi itu sudah terlalu sering, begitu sering saya menantang alam kota jakarta yang mendung penghujan dan hujan-hujanan, maka saya pilih untuk berteduh di bawah Jalan Layang Tol Cawang-Tanjung Priok. Semua kendaraan yang berroda 2 berteduh sejenak, ada yang memang menanti hujan reda, ada pula yang sekadar memasangkan mantel ke tubuh untuk dilanjut mengembara menembus hujan jakarta. Semula saya ingin mendengarkan lagu baru Banda Neira, Senja Di Jakarta.

“Bersepeda di kala senja, mengejar mentari tenggelam, hangat jingga temani rasa, nikmati jakarta.”

Maaf Rara, Nanda, sore ini Jakarta tak bisa begitu dinikmati seperti di dalam lagu kalian. Meski biasanya saya masih bisa menikmati senja di jakarta dalam keadaan macet, tapi tidak jika hujan datang mendera. Sebenarnya sudah terlalu biasa, sudah sangat biasa, dan terbiasa dengan macet di jakarta yang begitu riuh, dengan hujan dan banjir yang menggenang di jalan pramuka pun itu sudah biasa, hanya mungkin sore ini membuat suasana hati terlalu sentimentil, tak ada sedikitpun guratan jingga di langit kota ketika senja tiba. Di langit pun terpantul lautan kendaraan di bawah sini.

Takut earphone rusak kehujanan, maka tak jadi saya mendengar lagu itu, cukup dibayangkan. Berteduhlah saya sementara di bawah itu jalan bersama-sama dengan para pengendara lain. Tanpa rasa bersalah, menepi di pinggir jalur busway. Bagaimana lagi para pengendara yang tak membawa mantel seperti saya ini harus berteduh? Semua dihalalkan.

Di sela-sela menanti redanya hujan, saya perhatikan jalan layang di atas saya, begitu kokoh dan besar membentang dari cawang ke tanjung priok sana. Setelah saya ingat-ingat, itu adalah jalan layang yang dulu pengerjaannya menggunakan teknik sosrobahu, teknik yang ditemukan oleh Ir. Tjokorda Raka S. Teknik membuat penyangga jalan tanpa membuat macet jalanan, yaitu dengan memutar lengan penyangga 90 derajat menggunakan tekanan tertentu, kalau tak salah, ada angka 78 kg/cm2 untuk menggerakkan lengan penyangga yang kokoh itu. Betapa hebatnya orang itu, Ir. Tjokorda.

Setelah redanya hujan yang dinanti-nanti tiba, maka saya melanjutkan lagi perjalanan pulang. Belum sampai manggarai, hujan sempat turun sejenak untuk menggoda para pemotor, berteduhlah lagi di sebuah kantor BRI yang sudah tutup, meski tak begitu lama.

Sampai di Manggarai, ketika waktu maghrib tiba, dan hujan masih rintik-rintik, saya memutuskan untuk maghriban dulu di sebuah mushalla kecil yang tak terlalu ramai, di dekat pintu air manggarai. Beberapa anak muda menawarkan jasa penitipan sepatu dan tas, mereka mengikuti saya sejak motor diparkirkan. Anehnya, mereka malah tidak ikut shalat maghrib berjamaah dmeski di leher mereka terbelit sarung. Macam apa mereka ini? Dunia itu menggoda ya? Meski harganya 1000-2000? Semoga mereka segera tobat.

Dan pertunjukan kemacetan jakarta dimulai dari Manggarai ke Tebet, Tebet ke Pancoran, Mampang, Tedean, jalur penuh sesak. Motor pun kalah cepat dengan pejalan kaki, saya jamin itu. Selepas maghrib sudah tak ada warna jingga maupun merah di langit jakarta. Langit biru kelabu memayungi segala penjuru, asap knalpot kendaraan berebut masuk hidung, pengap. Apalagi tatkala sampai di persimpangan Pancoran, hal tersulit untuk kebanyakan pengendara adalah menahan nafsu untuk tidak membunyikan klakson karena macetnya luar biasa. Traffic Light yang tidak selaras dan lalu lalang mobil dan motor yang semrawut, disertai jalanan basah bekas hujan, membuat makin sentimentil.

Lepas dari Pancoran setelah perjalanan yang dekat namun lama dan melelahkan dari Manggarai, masih juga ujian hidup datang di jalan Gatot Subroto. Seluruh lajur diisi kendaraan bermotor, motor sudah seperti air, mengisi sampai celah tersempit. Bernyanyi-nyanyi bisa menjadi hiburan biar gak gila.

Mampang, tendean, semua sama saja.

Tapi ketika sudah masuk wilayah Blok M, suasana lancar mulai terasa. Alhamdulillahirobbilalamiin. Blok M ke PIM meski padat, tapi itu sudah biasa. Kalau orang yang belum biasa mesti sudah marah-marah sedari tadi, atau mungkin sudah lari saja, daripada naik motor. Yah, hidup itu pilihan. Semua itu biasa, sangat biasa di Jakarta. Biasakanlah.

Sampainya di depan markas BlueBird, banjir masih terasa, dan itu membuat macet karena kebanyakan kendaraan menghindar dari banjir itu. Tapi karena saya orangnya anti-mainstream, ya diterobos saja itu banjir. Walhasil, 4 jam di jalanan Jakarta terlaksana pula. J

Maaf, Sesal, Maklum

Bintaro, 19 Oktober 2013

Setyoko Andra Veda

Maaf adalah sebuah kata yang digunakan untuk menampung segala makna yang berkaitan dengan rasa penyesalan akan sesuatu yang telah terjadi, penyesalan yang tidak diharapkan. Memang mana ada yang mengharapkan sebuah penyesalan, oleh karenanya tatkala penyesalan itu telah terlanjur hadir, diucapkanlah kata ‘maaf’ untuk mengungkapkan penyesalan dengan berbagai pengharapan agar kesalahan yang sama tiada terulang pada subyek yang sama pula, bahka subyek lain. Begitulah sebuah kata dapat memerangkap makna-makna yang sebenarnya tiada dapat diungkapkan secara verbal sahaja.

Belakangan ini di dalam dada masing-masing dari kita mungkin ada terdapat rasa penyesalan akan sesuatu hal yang telah terjadi di masa silam. Maaf adalah salah satu senjata ampuh untuk menghilangkan rasa penyesalan tersebut, tapi tetap saja maaf hanyalah sebuah kata, sedangkan makna yang berusaha diungkapakan ternyata lebih besar dari segala kata yang pernah terucap. Maaf hanya menjadi sebuah retorika.

Penyesalan itu mungkin bisa jadi adalah ketika kita tak dapat mengendalikan perasaan dengan segala logika yang ada. Tatkala rasa sudah begitu menyesak di dada, ketika itu pula logika begitu tertekan dan semakin tiada bergua. Semua gelap di mata, semua gelap tanpa bulan dan tanpa bintang, layaknya malam yang kelam, begitu kelam, sangat kelam, bagaikan tiada lagi kekelaman yang mengalahkan malam tanpa bulan dan tanpa bintang, tanpa sedikitpun penerangan.

Dari hal-hal semacam itu pulalah kita dapat mengambil pelajaran tentang sesuatu, yaitu: pemakluman. Pemakluman terhadap orang lain yang sedang dirundung rasa berlebihan sehingga bertingkah tak sewajarnya, bertingkah terlalu emosional, atau bisa saja terlalu sentimentil. Menggunakan perasaan dan logika dengan berimbang adalah sulit untuk orang-orang demikian. Seperti yang telah digambarkan bahwa penyesalan telah menjadi santapan yang biasa karena tidak siapnya diri menerima risiko atas keputusan yang telah diambil di depan.

Tapi jika ditilik dari sisi lain, kata ‘maaf’ hanyalah sebuah kata benda untuk seseorang yang melakukan kesalahan yang menimbulkan penyesalan, sedangkan jika kata ‘maaf’ itu diberi awalan me- dan akhiran –kan akan menjadi sebuah kata kerja yang memerangkap makna lain pula: memaafkan. Memberikan maaf konon lebih sulit ketimbang meminta maaf. Seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, kadangkala kita lebih sulit untuk memberi daripada meminta.

Beberapa orang memberi tanpa dipinta, beberapa yang lain dipinta lebih dahulu baru memberi. Apapun entah itu untuk kata ‘maaf’ maupun untuk sesuatu yang kasat mata seperti materi. Sebaik-baik memberi adalah yang dilakukan dengan keikhlasan. Memberikan maaf juga dilakukan dengan keikhlasan, sedangkan ikhlas adalah sesuatu yang abstrak karena berkaitan dengan rasa. Siapa yang menilai? Tuhan.

Sesal adalah perasaan wajar, tapi jika terlalu sering datang tentu saja tak baik untuk kesehatan. Agar tak menyesal? Tentu harus menimbang-nimbang perbuatan sebelum dilakukan, dan tak setiap perbuatan memiliki cukup waktu untuk ditimbang-timbang. Hidup itu rumit, tapi dengan pemakluman semuanya menjadi ringan, dan dengan terlalu banyak pemakluman tentu tak baik pula untuk kesehatan.

Selamat sore.. J